Saturday 28 May 2016

0 5 sebab Umar bin Khatab tunduk kepada istrinya



Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab r.a. Ia ingin mengadu pada Khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun.
Dari dalam rumah terdengar istri Khalifah Umar bin Khatab r.a sedang marah-marah. cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Khalifah Umar bin Khatab r.a yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya marah? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun?. Ini 5 rahasia Umar mengapa ia lebih memilih berdiam diri atau seakan tunduk dalam menghadapi istrinya:
1. Istri adalah benteng Penjaga Api Neraka
Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya dirinya akan kesulitan mengendalikan syahwatnya kepada wanita sekitarnya. Istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari.
Maka, ketika Umar terpikat pada wanita, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari bahaya syahwat dan mebentengi dirinya dari api neraka. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.
2. Istri sebagai Pemelihara Rumah
Dikala dirinya bekerja siang malam dalam mengumpulkan harta. Umar mendapati Istrinya yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.
Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, berapa pula ia harus membayar untuk menggantikan peran istri serupa itu. Niscaya akan sulit menemukan pemelihara rumah yang ikhlash dan telaten daripada istrinya dalam menjaga hartanya.
3. Istri membantu menjaga penampilan suami
Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Dalam berpakaian, atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaiannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu.
4. Istri sebagai pengasuh Anak-anak
Perjuangan dan pengorbanan istri dalam sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir anak-anak yang menggembirakannya. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat anak-anak agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat.
Jika ada yang salah dengan pertumbuhan anak, pastilah istri yang disalahkan. Bila anak membanggakan lebih dulu suami yang mendapatkan pujian. Baik buruknya sang anak ke depan tak lepas dari sentuhan istrinya. Khalifah Umar bin Khatab r.a paham benar akan hal itu.
5. Istri sebagai penyedia Hidangan
Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami cuma tahu ada hidangan, tiada terpikir bagaimana susahnya cara menyajikannya, mulai dari alotnya tawar menawar di pasar menyiapkan bahan-bahan makanan untuk diracik dan dimasaknya.
Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.
Dengan mengingat lima peran ini, Khalifah Umar bin Khatab r.a kerap diam setiap istrinya marah. Umar memahami peran Istrinya yang capek, mungkin juga jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, menyediakan hidangan untuknya.
Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah istrinya itu melalui ungkapan kemarahan dan kecerewetan yang diterimanya. Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya.
Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar percekcokan karena suami sebagai pemimpin tidak terima dimarahi istri.  Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Khalifah Umar bin Khatab r.a ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi pemimpin idaman bagi keluarganya



Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment