Wednesday 17 December 2014

0 Prinsip-Prinsip Umum Agama Islam

Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berjalan di atas manhaj salafush shalih mereka berjalan di atas prinsip-prinsip agama yang kokoh dan jelas baik dalam masalah aqidah, amal maupun akhlak. Prinsip-prinsip ini diambil dari kitabullah Ta’ala dan semua yang shahih dan sunnah Rasul-Nya baik yang mutawatir maupun yang ahaad dan dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Prinsip-prinsip agama Islam sudah di jelaskan oleh Nabi saw dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-adakan sesuatu yang baru dalam prinsip-prinsip agama ini lalu berprasangka bahwa apa yang diada-adakannya merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ahlus sunnah wal jamaah senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama ini, menjauhi lafazh-lafazh yang bid’ah dan konsisten dengan lafazh-lafazh yang syar’i. Dari sinilah, ahlus sunnah wal jamaah merupakan manifestasi lanjutan yang sebenarnya berasal dari generasi salafuhs shalih.

Prinsip-prinsip agama Islam menurut ahlus sunnah wal jama’ah secara global sebagai berikut :

Prinsip Pertama: Iman Dan Rukunnya

Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun iman yang enam sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan (hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik maupun buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad (VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no. 63 serta yang lainnya.

Prinsip Kedua:

Bahwa iman menurut mereka adalah, “Membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan , diperbuat dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”

Iman (Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan, menampakan kekhusyu’an dan iqrar (pernyataan/pengakuan). Adapun makna iman secara syar’i yaitu segala bentuk ketaatan bathin maupun zhahir. Ketaatan bathin seperti amalan hati, yaitu pembenaran hati. Sedangkan yang zhahir yaitu perbuatan badan yang mencakup berbagai kewajiban dan amalan-amalan sunnah. Intinya iman itu adalah yang menghujam kokoh di dalam hati dan dibenarkan dengan perilaku dan sikap, sedangkan buahnya iman itu nampak nyata dalam pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Jika ilmu tersebut tanpa disertai dengan pengamalan, maka ilmu tersebut tidak ada manfaatnya. Seandainya hanya sekedar ilmu saja tanpa perbuatan dapat memberi manfaat kepada seseorang, pasti ilmu tersebut tidak dapat memberi manfaat pula kepada iblis -semoga Allah melaknatnya.

Prinsip Ketiga: Pandangan Dan Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Termasuk prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

Bahwa mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin apabila berbuat dosa yang dapat menjadikan kafir kecuali setelah iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) terhadapnya, sehingga orang itu menjadi kafir apabila mengabaikannya, dengan memenuhi berbagai persyaratan, dan tidak ada halangan dan hilangnya syubhat (keraguan) dari orang yang jahil maupun orang yang menakwilkannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa yang demikian itu terjadi dalam perkara-perkara rumit lagi tersembunyi yang memerlukan penelitian dan penjelasan; lain halnya dengan perkara-perkara yang jelas dan nyata, seperti: mengingkari wujudnya Allah, mendustakan Rasulullah SAW meningkari risalahnya yang universal dan kedudukan beliau sebagai penutup para Nabi.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (untuk kafir), jika hatinya tetap tenang dan tentram dengan keimanannya.

Prinsip Keempat

Termasuk dari prinsip-prinsip aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Beriman kepada nash-nash wa’ad(janji) (Al-Wa’du, yaitu nas-nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang mengandung janji Allah kepada orang yang taat dengan ganjaran yang baik, pahala dan Surga) dan wa’iid(ancaman) (Al-Wa’id, yaitu nash-nash yang terdapat padanya ancaman bagi orang-orang yang berbuat maksiyat dengan adzab dan siksaan yang pedih). Ahlus Sunnah mengimaninya dan memberlakukannya sebagaimana datangnya, tidak menakwilkan (menyelewengkan) dan menetapkan nash-nash wa’ad dan wa’iid sebagaimana adanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisaa’: 48 dan 116)

Prinsip Kelima : Membenarkan Karamah Para Wali

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

Membenarkan karamah para wali, yaitu sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada sebagian orang shalih berupa kejadian luar biasa sebagai penghargaan bagi mereka. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. (Karamah adalah perkara yang luar biasa yang tidak diiringi dengan pengakuan kenabian dan bukan juga sebagai muqaddimahnya. Allah menampakkannya atas sebagian hamba-Nya yang shalih dari golongan orang yang berpegang teguh dengan hukum syari’at Islam sebagai bentuk kemuliaan bagi mereka dari Allah Ta’ala. Jika tidak diiringi dengan iman yang benar dan amal shalih, maka hal itu merupakan istidraj (bujukan). Hal ini pernah terjadi pada ummat-ummat terdahulu seperti disebut dalam surat Kahfi dan lainnya; dan terjadi pula pada generasi awal ummat (Muhammad) ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Seperti yang terjadi ‘Umar bin Khahthab ra, “Wahai saariyyah, berlindunglah di gunung!”, dan banyak yang lainnya. Dalam kitab-kitab Sunan yang shahih dan nukilan atsar-atsar, disebutkan banyak sekali kisah tentang karamah; dimana Allah Ta’ala menghormati para hamba-Nya yang shalih dan yang mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya saw. Kisah tersebut juga telah diriwayatkan oleh ribuan orang dari kalangan ulama dan lainnya yang bersumber dari orang yang terpercaya lagi menyaksikannya. Hal itu sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan masih tetap ada pada ummat ini tergantung pada kehendak Allah. Terjadinya karamah para wali pada hakikatnya merupakan bagian dari mu’jizat bagi para Nabi. Karena karamah tidak akan terjadi kepada siapapun kecuali barakah mengikutinya kepada Nabinya dan berjalan diatas petunjuk agama dan syari’atnya. Karamah termasuk perkara yang dapat diterima oleh akal. Kadang-kadang apa yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin berupa pengetahuan yang luas merupakan suatu hal yang lebih afdhal dan lebih agung dibandingkan dengan hal luar biasa yang sifatnya material yang dapat kita dengar atau kita baca.

Prinsip Keenam : Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Menerima Dan Mengambil Dalil

Termasuk dari prinsip ‘Aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

Dalam manhaj talaqqi (menerima) dan istidlal (mengambil dalil) yaitu ittiba’ (mengikuti) apa yang datang dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya saw yang shahih baik secara zhahir maupun bathin, serta taslim (berserah diri) kepada Sunnah Nabi saw. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka piluhan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhla dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzaab : 36)

Nabi bersabda, “Saya tinggalkan dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduannya, yaitu ” Khitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Shahih, hadits diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mutstadrak dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab al-Misykat) (Dari Malik bin Anas secara mursal, tercantum dalam al-Muwaththa’ no. 1619, mempunyai hadits penguat yang dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/93) dari Sahabat Abu Hurairah dan Ibnu Abas. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykaatul Mashaabiih jili I, bab al I’tishaam bil Kitaabi was Sunnah ni.186 (47) dan dicantumkan juga pembahasan tentang penguat hadits tersebut dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah, Jilid IV hal. 355-361.)

Prinsip Ketujuh

Mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pimpinan Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika mereka menyuruh kepada kemaksiatan, maka tidak boleh taat kepada mereka dan ketaatannya hanya berlaku dalam masalah kebaikan bukan kemaksiatan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dna lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)

Prinsip Kedelapan

Termasuk dari prinsip ‘aqidah salafush shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

mencintai para Sahabat Rasulullah saw, menjaga kesucian hati dan lisannya terhadap mereka. Karena mereka itulah manusia yang paling sempurna keimanan dan kebaikannya serta paling besar ketaatan dan jihadnya. Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw. Merekapun mendapatkan suatu keistimewaan yang tidak bisa didapatkan oleh siapapun setelah generasi mereka walaupun setinggi apapun derajatnya; yaitu kemuliaan karena melihat Nabi saw dan bergaul dengannya.

Para sahabat yang mulia itu semuanya adalah ‘uduul (jujur dan adil) berdasarkan kesaksian Allah dan RasulNya. Mereka juga sebagai ummat yang paling baik setelah Nabi-Nya saw. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang berdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah mendediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal didalamnya merek a selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah :100)

Prinsip Kesembilan : Pandangan Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Ahwa

Termasuk dari prinsip aqidah Salafus Salih, Ahlus Sunnah wal Jamaah:

Bahwa mereka membenci ahlul ahwa’ dan bida’ (orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan bid’ah) mereka mengada-ada dalam urusan agama apa yang sebenarnya bukan dari urusan agama. Ahlus Sunah tidak mencintai dan tidak menemani mereka, tidak mendengarkan perkataannya, tidak mengajak duduk bersama dan tidak berdebat, tidak bertukar pikiran dengannya dalam urusan agama. Ahlus Sunah berpandangan bahwa hendaknya menjaga telinganya dari mendengarkan kebathilan-kebathilan mereka; menjelaskan kondisi dan kejahatan mereka dan memperingatkan umat terhadap mereka serta menghimbau mereka agar manusia menjauhi mereka.

Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah pada suatu ummat sebelumku melainkan ada dari ummatnya sahabat-sahabat setia dan teman karib baginya yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintanya. Kemudian ummat tersebut akan meninggalkan suatu generasi yang berucap tapi tidak berbuat, dan berbuat yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tanganya, maka dia seorang mukmin. Barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya (menasehati), maka dia seorang mukmin. Maka barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya (mengingkari), maka dia seorang mukmin. dan tidak ada sebesar biji sawipun dari keimanan setelah (tingkatan) itu.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam ak Albani). (HR. Muslim no.50 dan Ahmad (I/458) no.4379, dari Sahabat Ibnu Mas’ud)

Prinsip Kesepuluh : Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

Bahwa mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah kemunkaran, di antaranya:1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya. 2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan. 3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain. 4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam. Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ….”(Ali Imran:110)

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik …” (An-Nahl : 125).

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I)


Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment