Monday 22 October 2012

0 Kisah nyata seorang Pemuda arab yang menimba ilmu di amerika

Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang telah di beri nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama islam bahkan ia mampu mendalaminya. Selain belajar, ia juga seoarang juru dakwah Islam. Ketika berada di Amerika, ia berkenalan dengan salah seorang Nashrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah memberikan hidayah masuk islam. Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Katika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk. Di saat itu si pendeta terbelalak ketika melihat kepada para hadirin dan berkata, “Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini.” Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta mengucapkan kata-kata itu berulang kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, ”Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya.” Barulah pemuda ini beranjak keluar. Di ambang pintu ia bertanya kepada si pendeta, “Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim?.” Pendeta itu menjawab, “Dari tanda yang terdapat di wajahmu.” Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan si pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut. Sang pendeta berkata, “Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat.” Si pemuda tersenyum dan berkata, “Silahkan!.” Sang pendeta pun mulai bertanya, “Sebutkan satu yang tiada duanya, dua yang tiada tiganya, tiga yang tiada empatnya, empat yang tiada limanya, lima yang tiada enamnya, enam yang tiada tujuhnya, tujuh yang tiada delapannya, delapan yang tiada sembilannya, sembilan yang tiada sepuluhnya, sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh, sebelas yang tiada dua belasnya, dua belas yang tiada tiga belasnya, tiga belas yang tiada empat belasnya. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh!, apa yang di maksud dengan kuburan berjalan membawa isinya? Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga? Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya? Sebutkan sesuatu yang diciptakan oleh Allah dengan tanpa ayah dan ibu? Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang di adzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api? Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yang di adzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu? Sebutkan sesuatu yang di ciptakan oleh Allah dan di anggap besar! Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, dan setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan 2 di bawah sinaran matahari?” Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah. Setelah membaca basmalah ia berkata ; 1. Satu yang tiada duanya adalah Allah Ta’ala. 2. Dua yang tiada tiganya adalah malam dan siang (QS. Al-Isra’ : 12). 3. Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh. 4. Empat yang tiada limanya yaitu Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. 5. Lima yang tiada enamnya adalah shalat lima waktu. 6. Enam yang tiada tujuhnya adalah jumlah hari ketika Allah Ta’ala menciptakan makhluk. 7. Tujuh yang tiada delapannya adalah langit yang tujuh llapis (QS. Al-Mulk : 03). 8. Delapan yang tiada sembialnnya adalah malaikat pemikul Arsy Ar-Rahman (QS. Al-Haqqah : 17). 9. Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu’jizat yang di berikan kepada Nabi Musa : tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang. 10. Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan (QS. Al-An’am : 160). 11. Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara Yusuf AS. 12. Dua belas yang tiada tiga belasnya adalah mu’jizat Nabi Musa yang terdapat di QS. Al-Baqarah : 60. 13. Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya. 14. Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu shubuh (QS. At-Takwir : 18). 15. Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS. 16. Mereka yang berdusta namun masuk kedalam surga adalah saudara-saudara Yusuf AS, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia di makan serigala.” Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, “tak ada cercaan terhadap kalian.” Dan ayah mereka Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 17. Sesuatu yang di ciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai (QS. Luqman : 19). 18. Makhluk yang di ciptakan oleh Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, Malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim. 19. Makhluk yang di ciptakan dari api adalah Iblis, yang di adzab dengan api adalah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim (QS. Al-Anbiya’ : 69). 20. Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang di adzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua) . 21. Sesuatu yang diciptakan Allah dan di anggap perkara besar adalah tipu daya wanita (QS. Yusuf : 28). 22. Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 dibawah teduhan dan 2 di bawah sinaran matahari maknanya ; • Pohon adalah tahun • Ranting adalah bulan (12) • Daun adalah hari (1 bulan 30 hari) • Buah adalah shalat 5 waktu, 3 dikerjakan di malam hari dan 2 di siang hari. Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan itu di setujui oleh pendeta. Pemuda ini berkata, “Apakah kunci surga itu?” mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak. Mereka berkata, “Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak sanggup menjawabnya!” Pendeta tersebut berkata, “Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah.” Mereka menjawab, “Kami akan jamin keselamatan anda.” Sang pendeta pun berkata, “Jawabannya adalah : Asyhadu an Laa Ilaaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah.” Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertaqwa. Source, mausu’ah al-Qishash al-Waqi’ah, www.gesah.net

0 Jejak Perjuangan Islam Di Laweyan, Solo

Bumi Laweyan memiliki sederet kisah yang menarik untuk diketahui. Daerah ini terletak di sebelah selatan Kota Surakarta dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo. Mayoritas penduduknya adalah pengusaha batik. Laweyan sejak dahulu memang terkenal sebagai pusat produksi dan perdagangan batik. Kawasan Laweyan dilewati jalan Dr. Radjiman yang menghubungkan Keraton Kasunanan Surakarta dengan Kartosuro. Di sana banyak terlihat bangunan bergaya tempo dulu. Tembok-tembok tinggi menutupi rumah-rumah besar dengan arsitektur, material, dan ornamen yang mewah milik para raja batik zaman dulu. Pada zamannya, kawasan ini adalah ruang pamer kekayaan dan kemewahan duniawi. Hampir-hampir tak terbayang bahwa dari kawasan ini bisa muncul pergerakan Islam yang menjadi cikal bakal perjuangan dan jihad Muslim Indonesia mengusir penjajah Belanda, Sarekat Islam. Haji Samanhudi Di bumi Laweyan inilah lahir seorang tokoh perjuangan Islam bernama Haji Samanhudi. Beliau lahir tahun 1868 dengan nama kecil Sudarno Nadi. Setelah naik haji pada tahun 1904, ia dikenal dengan nama Haji Samanhudi. Ayahnya juga seorang pengusaha Muslim yang menjadi saudagar batik, H. Muhammad Zen. Sudarno kecil menempuh pendidikan di madrasah dan sekolah rakyat selama enam tahun. Pada umur 13 tahun ia meneruskan sekolah ke HIS di Madiun, tetapi tidak sampai tamat karena harus membantu kegiatan dagang ayahnya. Namun ia juga belajar Al-Qur’an di Pondok Pesantren Josermo, Surabaya. Usaha batik orang tuanya kemudian dilanjutkan oleh Sudarno nadi. Tak hanya menekuni bisnis, ia memanfaatkan usahanya untuk mengangkat harkat dan martabat peadagang Muslim. Ia menerapkan prinsip-prinsip Islam, tidak mau terlibat riba, jujur dalam berdagang, mambantu pemasaran batik dari pedagang kecil dan membantu pengusaha batik yang masih kecil. Usah batik yang dilakukan Sudarno pun berkembang pesat, ia mengembangkan cabang-cabang usaha di berbagai kota, kurang lebih ada 86 cabang. Industri batik yang di kembangkan juga menyerap banyak tenaga kerja, sekitar 200 pekerja yang datang dari sekitar Solo. Sudarno pun berkibar sebagai saudagar batik Muslim yang sukses. Namun ia tak melupakan fitrah dasar seorang Muslim, melawan kezholiman dan ketidakadilan. Sarekat Dagang Islam Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Sudarno Nadi semakin tergerak oleh semangat persaudaraan Islam yang melaumpaui batas-batas bangsa dan negeri. Bersama beberapa saudagar Muslim lainnya di Kota Solo, didirikanlah Sarekat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905. Upaya mempelopori dan mendirikan perkumpulan ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang luhur –berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk menyatukan para pedagang Islam dan menentang kezhaliman penjajah Belanda. Saat itu, persaingan yang sangat ketat terjadi antara pedagang pribumi dengan pedagang Cina. Para pedagang Cina yang memiliki modal besar serta kerjasama yang begitu rapi mendapatkan dukungan dari penguasa Belanda. Untuk kepentingan devide et imperanya, Belanda memposisikan para pedagang Cina sebagai mitra spesial dengan berbagai hak khusus. Sedangkan pedagang pribumi, dengan modal yang kecil dan diskriminasi perlakuan penguasa Belanda menjadi lemah dalam persaingan dengan pedagang Cina. Tekanan persaingan bisnis dan diskriminasi Belanda itu menyadarkan para pedagang pribumi Muslim akan pentingnya pembinaan , kerjasama dan persatuan ummat. Menyadari hal tersebut, dengan pendekatan-pendekatan agama seperti pengajian, ramah tamah dan musyawarah, maka H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam sebagai solusinya. Tujuan pendirian SDI adalah mengembangkan jiwa dagang bagi anggotanya, dengan prinsip-prinsip dagang Islam. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat kaum muslimin. Memperbaiki pendapat yang keliru dalam pemahaman agama Islam. Serta hidup sesuai dengan syari’at Islam. Masyarakat juga antusias terhadap solusi yang di pelopori H. Samanhudi. Mereka pun mendirikan perkumpulan ini di kota-kota lainnya. Tahun 1909, Raden Mas Tirtoadisuryo, ikut pula mendirikannya di kota Bandung dan Jakarta, dan pada tahun 1911, untuk daerah Bogor didirikan oleh H. Syeikh Ahmad Badjened. Karena perkembangan SDI yang begitu cepat, pedagang-pedagang Cina khawatir tersaingi, maka pada tahun 1911, di Solo, para pedagang Cina mendirikan perhimpunan yang bernanama “Kong Zing” yang mempunyai dua kelompok anggota, yaitu Cina dan Jawa. Namun dalam perkembangannya, golongan Jawa tidak bertahan lama, mereka keluar dari Kong Zing dan bergabung dengan SDI. Serikat Islam (SI) Selanjutnya, pada 11 November 1912, nama Sarekat Dagang Islam (SDI) di ganti menjadi nama Sarekat Islam (SI), yang di ketuai oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang lain, seperti politik. SI tidak hanya membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja, tetapi untuk semua lapisan masyarakat Muslim. Dalam perkembangannya SI menjadi pelopor gerakan politik Muslim yang berkembang menjadi gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Namun sejarah tetap mengabadikan fakta, SI lahir dari buaian SDI yang dirintis oleh Haji Samanhudi dari Laweyan. Usaha yang gigih dan mengobarkan semangat jihad terus dilakukan oleh Haji Samanhudi. Industri batik yang dikembangkan oleh Haji Samanhudi lambat laun menyurut. Namun kekayaannya selalu digunakan untuk membiayai kegiatan memperjuangkan umat Islam. Di masa tuanya, Haji Samanhudi jatuh pailit dan wafat di Klaten, Jum’at 28 Desember 1965, dan dimakamkan di daerah Surakarta.

0 ‘Urwah Bin Az-Zubair (Kakinya Dibuntung Dengan Gergaji, Karena Menolak Khamar Dan Bius)

“Barangsiapa ingin melihat seseorang dari ahli Surga, hendaklah ia melihat ‘Urwah bin az-Zubair” (Abdul Malik bin Marwan) Baru saja matahari sore itu memancarkan sinarnya di Baitul Haram dan mempersilahkan jiwa-jiwa yang bening untuk mengunjungi buminya yang suci tatkala sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW dan para pembesar tabi’in mulai berthawaf di sekeliling Ka’bah, mengharumkan suasana dengan pekikan tahlil dan takbir dan memenuhi hamparan dengan do’a-do’a kebaikan. Dan tatkala orang-orang membuat lingkaran per-kelompok di sekitar Ka’bah nan agung, yang berdiri kokoh di tengah Baitul Haram dalam kondisi yang berwibawa dan agung. Mereka memenuhi pandangan dengan keindahannya yang memikat, dan memoderator pembicaraan-pembicaraan di antara mereka tanpa keisengan dan perkataan dosa. Di dekat Rukun Yamani, duduklah empat orang pemuda yang masih remaja dan terhormat nasabnya serta berbaju harum seakan-akan mereka bagaikan merpati-merpati masjid, berbaju mengkilat dan membuat hati jinak karenanya. Mereka itu adalah ‘Abdullah bin az-Zubair, saudaranya; Mus’ab bin az-Zubair, saudara mereka berdua; Urwah bin az-Zubair dan Abdul Malik bin Marwan. Terjadi perbincangan ringan dan sejuk di antara anak-anak muda ini, lalu tidak lama kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Hendaklah masing-masing dari kita memohon kepada Allah apa yang hendak dia cita-citakan.” Maka khayalan mereka terbang ke alam ghaib nan luas, angan-angan mereka berputar-putar di taman-taman harapan nan hijau, kemudian Abdullah bin az-Zubair berkata, “Cita-citaku, aku ingin menguasai Hijaz dan memegang khilafah.” Saudaranya, Mus’ab berkata, “Kalau aku, aku ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tidak ada orang yang menyaingiku.” Sedangkan Abdul Malik bin Marwan berkata, “Jika anda berdua hanya puas dengan hal itu saja, maka aku tidak akan puas kecuali menguasai dunia semuanya dan aku ingin memegang kekhilifahan setelah Muawiyah bin Abi Sufyan.” Sementara ‘Urwah bin az-Zubair terdiam dan tidak berbicara satu kalimat pun, maka saudara-saudaranya tersebut menoleh ke arahnya dan berkata, “Apa yang kamu cita-citakan wahai Urwah?” Dia menjawab, “Mudah-mudahan Allah memberkati kalian semua terhadap apa yang kalian cita-citakan dalam urusan dunia kalian. Sedangkan aku hanya bercita-cita ingin menjadi seorang ‘alim yang ‘Amil (Mengamalkan ilmunya), orang-orang belajar Kitab Rabb, Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama mereka kepadaku dan aku mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan ridla Allah dan mendapatkan surga-Nya.” Kemudian waktu pun berjalan begitu cepat, sehingga memang kemudian Abdullah bin az-Zubair dibai’at menjadi Khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah ke dua dari khilafah Bani Umayyah), dan dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan dan Iraq. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka’bah tidak jauh dari tempat dimana dia pernah bercita-cita tentang hal itu. Dan ternyata Mus’ab bin Az-Zubair pun menguasai pemerintahan Iraq sepeninggal saudaranya, ‘Abdullah namun dia juga dibunuh di dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut. Demikian pula, Abdul Malik bin Marwan memangku jabatan Khalifah setelah ayahnya wafat, dan di tangannya kaum Muslim bersatu setelah pembunuhan terhadap ‘Abdullah bin az-Zubair dan saudaranya, Mus’ab di tangan pasukan-pasukannya. Kemudian dia menjadi penguasa terbesar di dunia pada zamannya. Lalu bagaimana dengan ‘Urwah bin Az-Zubair? Mari kita mulai kisahnya dari pertama. ‘Urwah bin az-Zubair dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar al-Faruq, di dalam keluarga paling terpandang dan terhormat kedudukannya dari sekian banyak keluarga-keluarga kaum muslimin. Ayahnya adalah az-Zubair bin al-’Awwam, sahabat dekat dan pendukung Rasulullah SAW, orang pertama yang menghunus pedang di dalam Islam dan salah satu dari sepuluh orang yang dijanjikan masuk surga. Ibunya bernama Asma` binti Abu Bakar yang bergelar berjuluk “Dzatun Nithaqain” (Pemilik dua ikat pinggang. Hal ini karena dia merobek ikat pinggangnya menjadi dua pada saat hijrah, salah satunya dia gunakan untuk mengikat bekal Rasulullah SAW dan yang satu lagi dia gunakan untuk mengikat bekal makanannya). Kakeknya pancar (dari pihak) ibunya tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah SAW dan sahabatnya ketika berada di dalam goa (Tsur). Neneknya pancar (dari pihak) ayahnya bernama Shafiyyah binti Abdul Muththalib bibi Rasulullah SAW sedangkan bibinya adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah RA. Pada saat jenazah ‘Aisyah dikubur, ‘Urwah sendiri yang turun ke kuburnya dan meratakan liang lahadnya dengan kedua tangannya. Apakah anda mengira bahwa setelah kedudukan ini, ada kedudukan lain dan bahwa di atas kemuliaan ini, ada kemuliaan lain selain kemuliaan iman dan kewibawaan Islam? Untuk merealisasikan cita-cita yang telah diharapkannya perkenaan Allah atasnya saat di sisi Ka’bah itu, dia tekun di dalam mencari ilmu dan memfokuskan diri untuknya serta menggunakan kesempatan untuk menimba ilmu dari sisa-sisa para sahabat Rasulullah SAW yang masih hidup. Dia rajin mendatangi rumah-rumah mereka, shalat di belakang mereka dan mengikuti pengajian-pengajian mereka, sehingga dia berhasil mentrasfer riwayat dari Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub al-Anshari, Usamah bin Zaid, Sa’id bin Zaid, Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan an-Nu’man bin Basyir. Dia banyak sekali mentransfer riwayat dari bibinya, ‘Aisyah Ummul Mukminin sehingga dia menjadi salah satu dari tujuh Ahli fiqih Madinah (al-Fuqahâ` as-Sab’ah) yang menjadi rujukan kaum muslimin di dalam mempelajari agama mereka. Para pejabat yang shaleh meminta bantuan mereka di dalam mengemban tugas yang dilimpahkan Allah kepada mereka terhadap urusan umat dan negara. Di antara contohnya adalah tindakan Umar bin Abdul Aziz ketika datang ke Madinah sebagai gubernurnya atas mandat dari al-Walid bin Abdul Malik. Orang-orang datang kepadanya untuk menyampaikan salam. Ketika selesai melaksanakan shalat dhuhur, dia memanggil sepuluh Ahli fiqih Madinah yang diketuai oleh ‘Urwah bin Az-Zubair. Ketika mereka sudah berada di sisinya, dia menyambut mereka dengan sambutan hangat dan memuliakan tempat duduk mereka. Kemudian dia memuji Allah ‘Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya dengan sanjungan yang pantas bagi-Nya, lalu berkata, “Sesungguhnya aku memanggil kalian semua untuk sesuatu yang kiranya kalian semua diganjar pahala karenanya dan menjadi pendukung-pendukungku dalam berjalan di atas kebenaran. Aku tidak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian semua, atau pendapat orang yang hadir dari kalian-kalian semua. Jika kalian semua melihat seseorang menyakit orang lain, atau mendengar suatu kedzaliman dilakukan oleh pegawaiku, maka demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya kepadaku.” Maka ‘Urwah bin az-Zubair mendo’akan kebaikan baginyanya dan memohon kepada Allah agar menganugerahinya ketepatan (dalam bertindak dan berbicara) dan mendapatkan petunjuk. ‘Urwah bin az-Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia banyak berpuasa di kala hari demikian teriknya dan banyak shalat malam di kala malam gelap gulit, selalu membasahkan lisannya dengan dzikir kepada Allah Ta’ala. Selain itu, dia selalu menyertai Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan tekun membacanya. Setiap harinya, dia membaca seperempat al-Qur’an dengan melihat ke Mushafnya. Kemudian dia membacanya di dalam shalat malam hari dengan hafalan. Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu semenjak menginjak remaja hingga wafatnya, kecuali satu kali disebabkan adanya musibah yang menimpanya. Mengenai apa musibah itu, akan dihadirkan kepada pembaca nanti. Sungguh ‘Urwah bin az-Zubair mendapatkan kedamaian hati, kesejukan mata dan surga dunia di dalam shalatnya, karenanya, dia melakukannya dengan sebaik-baiknya, melengkapi syarat rukunnya dengan sempurna dan berlama-lama di dalamnya. Diriwayatkan tentangnya bahwa dia pernah melihat seorang yang sedang melakukan shalat dengan ringan (cepat), maka ketika orang itu telah selesai shalat, dia memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai anak saudaraku, Apakah anda tidak mempunyai keperluan kepada Tuhanmu ‘Azza wa Jalla?! Demi Allah sesungguhnya aku memohon kepada Allah di dalam shalatku segala sesuatu bahkan garam.” ‘Urwah bin Az-Zubair adalah juga seorang dermawan, pema’af dan pemurah. Di antara contoh kedermawanannya, bahwa dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah. Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari kebunnya selama setahun untuk menjaga agar pohon-pohonnya terhindar dari gangguan binatang dan keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap dipetik dan siap dimakan, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya tersebut di banyak arah supaya orang-orang mudah untuk memasukinya. Maka mereka pun memasukinya, datang dan kembali untuk memakan buah-buahnya dan membawanya pulang dengan sesuka hati. Dan setiap kali dia memasuki kebunnya ini, dia mengulang-ulang firman Allah, “Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu ” MASYA ALLAH, LAA QUWWATA ILLA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)” (Q.,s.al-Kahfi:39) Dan pada suatu tahun dari kekhilafahan al-Walid bin Abdul Malik (khalifah ke enam dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam mencapai puncaknya), Allah Azza wa Jalla berkehendak untuk menguji ‘Urwah bin az-Zubair dengan ujian yang berat, yang tidak akan ada orang yang mampu bertahan menghadapinya kecuali orang yang hatinya penuh dengan keimanan dan keyakinan. Khalifah kaum muslimin mengundang ‘Urwah bin az-Zubair supaya mengunjunginya di Damaskus, lalu Urwah memenuhi undangan tersebut dan membawa serta putra tertuanya. Dan ketika sudah datang, Khalifah menyambutnya dengan sambutan yang hangat dan memuliakannya dengan penuh keagungan. Namun saat di sana, Allah SWT berkehendak lain, tatkala putra ‘Urwah memasuki kandang kuda al-Walid untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang tangkas, lalu salah satu dari kuda itu menendangnya dengan keras hingga dia meninggal seketika. Belum lama sang ayah yang bersedih menguburkan putranya, salah satu kakinya terkena tumor ganas (semacam kusta) yang dapat menjalar ke seluruh tubuh. Betisnya membengkak dan tumor itu dengan sangat cepat berkembang dan menjalar. Karena itu, Khalifah memanggil para dokter dari segala penjuru untuk tamunya dan meminta mereka untuk mengobatinya dengan segala cara. Akan tetapi, para dokter sepakat bahwa tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain memotong betis ‘Urwah, sebelum tumor itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan merenggut nyawanya. Maka, tidak ada alasan lagi untuk tidak menerima kenyataan itu. Ketika dokter bedah datang untuk memotong betis ‘Urwah dan membawa peralatannya untuk membelah daging serta gergaji untuk memotong tulang, dia berkata kepada ‘Urwah, “Menurutku anda harus meminum sesuatu yang memabukkan supaya anda tidak merasa sakit ketika kaki anda dipotong.” Maka Urwah berkata, “O..tidak, itu tidak mungkin! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan.” Maka dokter itu berkata lagi, “Kalau begitu aku akan membius anda.” Urwah berkata, “Aku tidak ingin, kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya mengharap pahala di sisi Allah atas hal ini.” Ketika dokter bedah itu mulai memotong betis, datanglah beberapa orang tokoh kepada ‘Urwah, maka ‘Urwah pun berkata, “Untuk apa mereka datang?.” Ada yang menjawab, “Mereka didatangkan untuk memegang anda, barangkali anda merasakan sakit yang amat sangat, lalu anda menarik kaki anda dan akhirnya membahayakan anda sendiri.” Lalu ‘Urwah berkata, “Suruh mereka kembali. Aku tidak membutuhkan mereka dan berharap kalian merasa cukup dengan dzikir dan tasbih yang aku ucapkan.” Kemudian dokter mendekatinya dan memotong dagingnya dengan alat bedah, dan ketika sampai kepada tulang, dia meletakkan gergaji padanya dan mulai menggergajinya, sementara ‘Urwah membaca, “Lâ ilâha illallâh, wallâhu Akbar.” Dokter terus menggergaji, sedangkan ‘Urwah tak henti bertahlil dan bertakbir hingga akhirnya kaki itu buntung. Kemudian dipanaskanlah minyak di dalam bejana besi, lalu kaki Urwah dicelupkan ke dalamnya untuk menghentikan darah yang keluar dan menutup luka. Ketika itulah, ‘Urwah pingsan sekian lama yang menghalanginya untuk membaca jatah membaca Kitab Allah pada hari itu. Dan itu adalah satu-satunya kebaikan (bacaan al-Qur’an) yang terlewati olehnya semenjak dia menginjak remaja. Dan ketika siuman, ‘Urwah meminta potongan kakinya lalu mengelus-elus dengan tangannya dan menimang-nimangnya seraya berkata, “Sungguh, Demi Dzat Yang Mendorongku untuk mengajakmu berjalan di tengah malam menuju masjid, Dia Maha mengetahui bahwa aku tidak pernah sekalipun membawamu berjalan kepada hal yang haram.” Kemudian dia mengucapkan bait-bait sya’ir karya Ma’n bin Aus, Demi Engkau, aku tidak pernah menginjakkan telapak tanganku pada sesuatu yang meragukan Kakiku tidak pernah mengajakku untuk melakukan kekejian Telinga dan mataku tidak pernah menggiringku kepadanya Pendapatku dan akalku tidak pernah menunjuk kepadanya Ketahuilah, sesungguhnya tidaklah musibah menimpaku sepanjang masa melainkan ia telah menimpa orang sebelumku Al-Walid bin Abdul Malik benar-benar merasa sedih terhadap musibah yang menimpa tamu agungnya. Dia kehilangan putranya, lalu dalam beberapa hari kehilangan kakinya pula, maka al-Walid tidak bosan-bosan menjenguknya dan mensugestinya untuk bersabar terhadap musibah yang dialaminya. Kebetulan ketika itu, ada sekelompok orang dari Bani ‘Abs singgah di kediaman Khalifah, di antara mereka ada seorang buta, lalu al-Walid bertanya kepadanya perihal sebab kebutaannya, lalu orang itu mejawab, “Wahai Amirul mukminin, di dalam komunitas Bani ‘Abs tidak ada orang yang harta, keluarga dan anaknya lebih banyak dariku. Lalu aku bersama harta dan keluargaku singgah di pedalaman suatu lembah dari lembah-lembah tempat tinggal kaumku, lalu terjadi banjir besar yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Banjir itu menghanyutkan semua yang aku miliki; harta, keluarga dana anak. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi yang baru lahir. Sedangkan onta yang tersisa itu adalah onta yang binal sehingga lepas. Akibatnya, aku meninggalkan sang bayi tidur di atas tanah untuk mengejar onta tersebut. Belum begitu jauh aku meninggalkan tempat ku hingga tiba-tiba aku mendengar jeritan bayi tersebut. Aku menoleh namun ternyata kepalanya telah berada di mulut serigala yang sedang menyantapnya. Aku segera menyongsongnya namun sayang aku tidak bisa menyelamatkannya, karena srigala telah membunuhnya. Lalu aku mengejar onta dan ketika aku berada di dekatnya, ia menendangku dengan kakinya. Tendangan itu mengenai wajahku, sehingga keningku robek dan mataku buta. Begitulah aku mendapatkan diriku di dalam satu malam telah menjadi orang yang tanpa keluarga, anak, harta dan mata.” Maka al-Walid berkata kepada pengawalnya, “Ajaklah orang ini menemui tamu kita ‘Urwah bin az-Zubair. Mintalah dia mengisahkan ceritanya supaya ‘Urwah mengetahui bahwa ternyata masih ada orang yang mengalami cobaan yang lebih berat darinya.” Ketika ‘Urwah diangkut ke Madinah dan dipertemukan dengan keluarganya, dia mendahului mereka dengan ucapan, “Jangan kalian merasa ngeri terhadap apa yang kalian lihat. Allah ‘Azza wa Jalla telahmenganugerahuiku empat orang anak, lalu mengambil satu di antara mereka dan masih menyisakan tiga orang lagi. Segala puji hanya untuk-Nya. Dan Dia memberiku empat anggota badan, kemudian Dia mengambil satu darinya dan menyisakan tiga untukku, maka segala puji bagi-Nya. Dia juga telah memberiku empat buah yang memiliki ujung (kedua tangan dan kedua kaki-red.,), lalu Dia mengambilnya satu dan menyisakan tiga buah lagi untukku. Dan demi Allah, Jika pun Dia telah mengambil sedikit dariku namun telah menyisakan banyak untukku. Dan jika pun Dia mengujiku satu kali namun Dia telah mengaruniaiku kesehatan berkali-kali.” Ketika penduduk Madinah mengetahui kedatangan imam dan orang ‘alim mereka, ‘Urwah bin az-Zubair, mereka berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk menghibur dan menjenguknya. Di antara untaian kata ta’ziah yang paling berkesan adalah perkataan Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah kepadanya, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah! salah satu anggota badan dan anakmu telah mendahuluimu menuju surga dan yang keseluruhannya akan mengikuti yang sebagiannya itu, insya Allah Ta’ala. Sungguh, Allah telah menyisakan sesuatu darimu untuk kami yang sangat kami butuhkan dan perlukan, yaitu ilmu, fiqih dan pendapat anda. Mudah-mudahan Allah menjadikan hal itu bermanfaat bagimu dan kami. Allah lah Dzat Yang Maha menanggung pahala untukmu dan Yang menjamin balasan kebaikan amalmu.” ‘Urwah bin az-Zubair tetap menjadi menara hidayah, petunjuk kebahagiaan dan penyeru kebaikan bagi kaum muslimin sepanjang hidupnya. Dia sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya, khususnya, dan anak-anak kaum muslimin lainnya, umumnya. Dia tidak pernah membiarkan kesempatan berlalu tanpa digunakannya untuk memberikan penyuluhan dan nasehat kepada mereka. Di antara contohnya, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menuntut ilmu ketika berkata kepada mereka, “Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan kerahkanlah segala kemampuan dengan semestinya. Karena, jika kamu sekarang ini hanya sebagai orang-orang kecil, mudahan-mudahan saja berkat ilmu, Allah menjadikan kamu orang-orang besar.” Penuturan lainnya, “Aduh betapa buruknya, apakah di dunia ini ada sesuatu yang lebih buruk daripada orang tua yang bodoh?.” Dia juga menyuruh mereka untuk menilai sedekah sebagai hadiah yang dipersembahkan untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu, dalam ucapannya, “Wahai anakku, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kamu mempersembahkan hadiah kepada Rabb-nya berupa sesuatu yang dia merasa malu kalau dihadiahkan kepada tokoh yang dimuliakan dari kaumnya. Karena Allah Ta’ala adalah Dzat Yang Paling Mulia, dan Paling Dermawan serta Yang Paling Berhak untuk dipilihkan untuk-Nya.” Dia juga pernah memberikan pandangan kepada mereka (anak-anaknya) tentang tipikal manusia dan seakan mengajak mereka menembus langsung menuju siapa inti dari mereka itu, “Wahai anakku, jika kamu melihat seseorang berbuat kebaikan yang amat menawan, maka harapkanlah kebaikan dengannya meskipun di mata orang lain, dia seorang jahat, karena kebaikan itu memiliki banyak saudara. Dan jika kamu melihat seseorang berbuat keburukan yang nyata, maka menghindarlah darinya meskipun di mata orang lain, dia adalah orang baik, karena keburukan itu juga memiliki banyak saudara. Dan ketahuilah bahwa kebaikan akan menunjukkan kepada saudara-saudaranya (jenis-jenisnya yang lain), demikian pula dengan keburukan.” Dia juga berwasiat kepada anak-anaknya supaya berlaku lemah lembut, berbicara baik dan bermuka ramah. Dia berkata, “Wahai anakku, sebagaimana tertulis di dalam hikmah, ‘Hendaklah kamu berkata-kata baik dan berwajah ramah niscaya kamu akan lebih dicintai orang ketimbang cinta mereka kepada orang yang selalu memberikan mereka hadiah.” Bilamana dia melihat manusia cenderung untuk berfoya-foya dan menilai baik kenikmatan duniawi, dia mengingatkan mereka akan kondisi Rasulullah SAW yang penuh dengan kesahajaan kehidupan dan kepapaan. Di antara contohnya adalah sebagaimana yang diceritakan Muhammad bin al-Munkadir (seorang tabi’i dari penduduk Madinah, wafat pada tahun 130 H), “Saat ‘Urwah bin az-Zubair menemuiku dan memegang tanganku, dia berkata, ‘Wahai Abu Abdullah.’ Lalu aku menjawab, “Labbaik.” Kemudian dia berkata, “Saat aku menemui Ummul mukminin ‘Aisyah RA, dia berkata, ‘Wahai anakku.’ Lalu aku menjawab, ‘Labbaik.’ Beliau berkata lagi, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami dahulu pernah sampai selama empat puluh malam tidak menyalakan api di rumah Rasulullah SAW, baik untuk lentera ataupun yang lainnya.’ Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummi, bagaimana kalian semua dapat hidup?’ Beliau menjawab, ‘Dengan dua benda hitam (Aswadân); kurma dan air.’ Selanjutnya ‘Urwah bin az-Zubair hidup hingga mencapai usia 71 tahun, yang diisinya dengan kebaikan, kebajikan dan ketakwaan. Ketika ajal menjelang, dia sedang berpuasa, lalu keluarganya ngotot memintanyanya agar berbuka saja namun dia menolak. Sungguh dia telah menolak, karena dia berharap kalau kelak dia bisa berbuka dengan seteguk air dari sungai Kautsar di dalam bejana emas dan di tangan bidadari. CATATAN : Sebagai bahan bacaan, silahkan merujuk ke: ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d, 1:406; 2:382, 387; 3:100; 4:167; 5:334; 8:102. Hilyatu al-Auliya` karya Abu Nuaim, 2/176. Shifat ash-Shafwah, karya Ibnu al-Jauzi, 2:87. Wafayat al-A’yan, karya Ibnu Khalakan, 3: 255. Ansabu al-Asyraf, karya al-Baladziri Jamharatu Ansabi al-’Arab, karya Ibnu Hazm

0 Ulama Masyhur yang Dituduh “Penghianat” Rezim Soekarno

BULAN Februari ini, adalah hari kelahiran seorang tokoh ulama besar Nusantara yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA. Beliau dilahirkan di Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Jadi sehingga kini sudah seabad lebih lamanya. Untuk itu bagi kita generasi sekarang ini perlu mengenal lebih dekat sosok ulama besar tersebut sekaligus mengenang jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan agama di tanah air. Ayah Hamka adalah H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul seorang tokoh ulama Sumatera. Dikenal sebagai pelopor “golongan muda”, murid Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Makkah. Ibunya bernama Syafiyah istri kedua ayahnya. Pendidikan awal buya Hamka di sekolah Diniyah 1916 kemudian di sekolah Sumatera Thawalib 1918. Diantara gurunya disana ialah Zainuddin Labai El Yunusi, H.Rasul Hamidi, H. Jalaluddin Thaib, Angku Mudo Abdulhamid dan lain-lain. Selain itu Hamka mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1922. Beliau belajar Tafsir Al Qur'an dan Fikih dengan kitab Al Muhazzab dari Angku Mudo Abdulhamid. (Ayahku hal 318) Setelah itu beliau merantau ke Jawa. Disana beliau belajar kepada HOS. Cokroaminoto tentang islam dan sosialisme, kepada Soeryopranoto tentang sosiologi dan kepada H. Fakhruddin dalam ilmu Tauhid. Selanjutnya beliau banyak belajar kepada A.R.St. Mansur. Guru yang memiliki pengaruh besar pada dirinya ialah ayahnya sendiri dan A.R.St. Mansur yang tak lain adalah iparnya. Dari ayahnya Hamka belajar langsung tentang Ushul Fiqh dan Mantiq. Selama enam bulan beliau belajar kepada ayahnya di kutub khanah sampai kedua ilmu tersebut beliau kuasai. Alasan ayahnya mengajarkan dua ilmu tersebut ialah kegemaran Hamka berfilsafat dan membawa sejarah ketika berceramah, sehingga dengan menguasai kedua ilmu tersebut tidak dikuatirkan akan tersesat. Buya Hamka banyak berperan dalam gerakan dakwah. Beliau tidak memaknai dakwah secara sempit. Banyak bidang yang telah beliau lakukan dalam memperjuangkan agama Islam. Dalam bidang organisasi beliau aktif di Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan selama hidupnya beliau banyak mengajar kepada masyarakat. Baik di sekolah, masjid, surau, universitas dan lainnya. Ketika mudanya beliau pernah mendirikan sekolah Tarbiyatul Muballighin sekaligus menjadi direkturnya. Beliau juga mengajar masyarakat Indonesia melalui kuliah di Radio Republik Indonesia (RRI) selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam bidang keilmuan dan penulisan beliau telah menulis buku-buku dari berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, tasawuf, filsafat, tafsir, akhlak, sejarah roman dan lainnya. Diantara judul-judul bukunya yang banyak tersebut antara lain: Tasauf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga hidup, Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Ayahku, Sejarah Umat Islam, Revolusi Agama, Revolusi Pemikiran, Studi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Pandangan Hidup Muslim. Metode dakwah yang dibawakan oleh Buya Hamka sangat bijaksana sehingga diterima banyak kalangan. Misalnya beliau menulis roman islami yang pada masa itu sangat “aneh” bagi seorang ulama menulis roman. Namun cara tersebut justru sangat digemari masyarakat. Beliau sangat mahir dalam menulis dan bahasanya sangat sederhana sehingga mudah difahami. Meskipun menjelaskan sesuatu pembahasan yang sulit seperti filsafat. Namun melalui sentuhannya filsafat menjadi mudah dimengerti oleh banyak orang. Beliau juga diantara tokoh yang yang turut meningkatkan seni kesusasteraan di tanah air. kemahirannya dalam menulis diawali dengan menulis ringkasan pidato dan diskusi bersama rekan-rekannya pada masa mudanya. Dalam bidang penerbitan beliau menjadi editor sekaligus pimpinan majalah Pedoman Manyarakat dan Panji Masyarakat (Panjimas). Melalui majalah tersebut beliau menyampaikan pemikirannya. Disegani Dunia Atas keluasan ilmu yang dimiliki serta kontribusinya yang besar dalam berdakwah di Indonesia beliau di anugerahi Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Kairo pada tahun 1958. Surat pengakuan gelar tersebut ditanda-tangani langsung oleh Syeikh Al Azhar ketika itu yaitu Syeikh Mahmud Syaltut. Hal ini mengulang sejarah ayahnya yang diberikan gelar yang sama pada tahun 1926 ketika kongres yang dianjurkan oleh ulama Al Azhar. Ketika itu ayahnya bersama H. Abdulllah Ahmad, masing-masing mendapat gelar kehormatan melalui kesepakatan ulama yang hadir. Hamka juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 1974. Pada tahun 1977 beliau diangkat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengundurkan diri pada tahun 1981 dikarenakan tekanan pemerintah yang tidak sesuai dengan pendiriannya. Pada zaman Soekarno, beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun karena dituduh “pengkhianat” dan menjual negara kepada Malaysia. Tentu beliau sangat sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada tokoh-tokoh Islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu tersebut untuk menyelesaikan karyanya yang monumental bernama Tafsir Al Azhar (30 jilid). Selama hidupnya beliau menjadi panutan masyarakat dan tempat banyak orang bertanya tentang masalah agama. Atas usaha beliaulah masjid Al Azhar selesai dibangun dan beliau menjadi imam masjid tersebut hingga akhir hayatnya. Beliau menutup usia pada 24 Juli 1981. Dengan meninggalkan warisan karya-karya penting yang masih selalu dipelajari orang sehingga hari ini. Ketokohan beliau bukan saja diakui oleh masyarakat Indonesia namun di Malaysia dan Singapura kedudukan beliau dangat dihormati. Mereka juga turut bangga kepada buya Hamka. Buku-buku karangan beliau banyak dipelajari dan diterbitkan di kedua Negara tersebut. Di Singapura misalnya, maka Pustaka Nasional yang banyak menerbitkan. Di Malaysia terdapat beberapa tesis dalam bahasa Melayu, Arab atau pun Inggris yang membahas pandangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu. Demikianlah sedikit kisah tentang sosok buya Hamka. Tujuan ditulisnya kisah ini, selain untuk memperingati masa kelahirannya juga untuk memberikan semangat kepada generasi baru muslim di Negara ini agar mengikuti jejak beliau. Dengan cara menguasai ilmu serta beramal untuk memajukan bangsa dan agama.*/Hambari Nursalam, Mahasiswa International Islamic University Malaysia Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/21318/23/02/2012/ulama-masyhur-yang-dituduh-“penghianat”-rezim-soekarno.html

0 Yang Unik Dari Jihad Nusantara

1. Hanzhalah dari Jawa Ada sebuah kisah yang mengharukan pada masa jihad Diponegoro. Seorang panglima pasukan Diponegoro, Kiai Imam Nawawi dari Purworejo, adalh pengantin baru. Suatu malam beliau meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan istrinya karena harus memimpin serangan terhadap markas Belanda. Pertahanan Belanda porak-poranda, benteng musuh jatuh ke tangan mujahidin. Para prajurit anak buah Kiai Imam Nawawi bersorak-sorai karena kemenangan. Namun, tiba-tiba mereka harus bersedih karena ditemukan jenazah Kiai Imam Nawawi yang syahid. Kesedihan bertambah karena tak jauh dari jenazah beliau, tergeletak jenazah istrinya. Agaknya sepenginggal Kiai Imam Nawawi, sang istri yang baru di nikahi itu diam-diam menyusul suaminya ke medan perang dengan menyamar sebagai seorang laki-laki. Subhanallah kisah ini mirip dengan dengan syahidnya sahabat Hanzhalah Ra yang gugur dan dimandikan oleh para bidadari. Bahkan turut gugurnya sang istri menunjukkan tingginya semangat jihad Muslim dan Muslimah dalam jihad Diponegoro. 2. Bai’at dalam Perjuangan Ternyata bai’at tidak sekedar dikenal dalam jihad Timur Tengah. Mujahidin Indonesia juga pernah melakukan bai’at, antara lain : • Pangaran Diponegoro membai’at para panglima dan pasukannya di Tegalrejo. Hal ini seperti yang dilakukan oleh “katibatul maut” Ikrimah yang berbai’at untuk tidak mundur ke belakang, hingga menang atau mati syahid. • Sultan Babullah meminta rakyatnya untuk berbai’at menuntut balas atas kematian sang ayah, Sultan Khairun, yang di bunuh Portugis saat berunding di benteng mereka. Hal ini mengingatkan pada peristiwa Bai’at Ridhwan, saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam meminta bai’at dari para sahabatnya di bawah pohon untuk menuntut balas darah Utsman yang di kabarkan di bunuh oleh orang kafir Quraisy, pada saat berunding di benteng Quraisy. • Bai’at rakyat Banjar untuk Pangeran Antasari yang di angkat sebagai Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ini mengingatkan pada peristiwa pembai’atan Umar bin Khattab ra sebagai Amirul Mukminin. 3. Al-Wala’ wal Bara’ Ternyata prinsip Al-wala’ wal Bara’ telah diterapkan oleh para mujahid Indonesia. Sultan Ageng Tirtayasa menyerang anaknya, Sultan Haji, yang memberikan loyalitasnya kepada Belanda. Hal ini mengingatkan kita tentang Abu Bakar yang mencari anaknya Abdurrahman untuk di bunuh pada Perang Badar, karena anaknya loyal kepada kafir Quraisy.

0 Seekor Ayam Telah Menghancurkan Tuhan-Tuhan Kami

“Sudah menjadi kebiasaanku sebelum Islam, setiap kali aku mengunjungi sebuah kota atau perkampungan, maka tempat pertama yang aku cari dan aku masuki adalah tempat ibadah seperti gereja dan lain-lain. Hingga akhirnya aku masuk ke sebuah masjid jami’. Pada saat itu kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Maghrib. Aku menunggu hingga mereka selesai melaksanakan shalat lalu aku menemui imam masjid yang sedang berkumpul dengan para jama’ah. Kemudian berlangsunglah diskusi dengannya tenteng permasalahanku yang merupakan awal aku masuk ke dalam agama Islam.” Dari sinilah Abdullah Al-Mahdi mulai bercerita tentang keislamannya, bagaimana ia masuk ke dalam Islam, apa yang mempengaruhinya hingga ia memeluk agama Islam dan tentang kehidupannya sebelum masuk Islam. Abdullah Al-Mahdi berkata, “Namaku sebelum Islam Leonardo Viliyar. Aku lahir pad 14 Desember 1935 di sebuah keluarga Kristen Katolik. Sewaktu kecil, aku dipelihara oleh kakek dan nenekku. Mereka mengajariku tentang aliran katholik yaitu keyakinan trinitas. Keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah dan dialah yang kita sembah selain Allah. Mereka berdua mengirimku ke sekolah Inggris setelah berkali-kali aku memintanya. Hanya saja aku tidak menamatkannya, Alhamdulillah. Waktu itu umurku sekitar 5 tahun dan kepala sekolah pada awalnya tidak mau menerimaku karena umurku masih terlalu kecil. Tetapi pada akhirnya dia menerimaku juga setelah ia yakin bahwa pengetahuanku di atas temen-teman seusiaku. Suatu kali mereka membiarkan aku tidur siang, sementara pintu rumah terbuka. Pada saat itu masuk induk ayam bersama anak-anaknya. Aku tersentak bangun lalu aku ambil handuk untuk mengusir ayam itu keluar. Ayam tersebut terbang ke patung yang biasa kami sembah ketika sembahyang. Patung tersebut jatuh dan pecah berkeping-keping. Dari sini aku menegtahui bahwa patung tersebut terbuat dari kayu dan ia bukan Tuhan. Aku berbicara pada patung tersebut, “Kamu ini hanya kayu bukan Tuhan sebagaimana yang di yakini oleh nenek moyangku. Kamu tidak dapat menolong diri kamu sendiri, bagaimana mungkin kamu dapat menolongorang lain?” Aku berkeinginan untuk menghancurkannya, namun karena aku masih kecil dan takut kakekku akan memukulku maka aku kembali meletakkannya ke tempat semula. Aku mulai berfikir tentang perkara ini. Aku juga yakin bahwa di sana ada tuhan yang hakiki yang menciptakan segala yang ada. Pada keesokan harinya aku melihat kakekku sedang duduk, lantas akupun duduk di sampingnya. Lalu aku bertanya, “Apakah patung ini Tuhan?” Ia menjawab, “Tidak. Tetapi kami menjadikannya sebagai kiblat pada sembahyang kami, seakan-akan kamu berada di hadapan Tuhan di saat kami mengerjakan sembahyang.” Aku terdiam, tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk di dalam jiwaku. DISKUSI DENGAN KAKEKKU Kapan terjadi perubahan dalam hidupmu? Pada tahun 1943 M, tidak lama sebelum berakhirnya perang dunia kedua, aku menemukan buku yang mereka namakan Injil Barnabes (Gospel of Barnabes). Akupun membaca isinya, di dalamnya ada ucapan yang di nisbatkan kepada Nabi Isa ‘Alaihi Salam yang artinya kurang lebih adalah, “Sesungguhnya Tuhanmu tiada lain adalah Tuhanku, dan Rabbmu adalah Rabbmu.” Aku merasaheran dengan kalimat tersebut karena bertentangan sama sekali dengan akidah yang selama ini aku yakini. Seakan-akan aku kesulitan untuk memahaminya. Sementara waktu itu umurku baru menginjak 9 tahun, maka aku bertanya kepada kakekku maksud dari kalimat tersebut. Akan tetapi dia tidak mau menjawab pertanyaanku, bahkan sibuk mengamati kitab tersebut kemudian berkata, “Kamu jangan membaca kitab ini, karena akan menyesatkanmu dan menjadikan kamu bimbang terhadap agamamu. Dan sesungguhnya penulis kitab tersebut bukan dari orang Nashrani.” Aku bertanya, “Apakah ada agama alin selain agama kita?” “Ya.” Jawab kakekku. Aku tanya lagi, “Apakah agama mereka lebih baik dari agama kita?” Kakekku menjawab, “Tidak,bahkan agama kita lebih baik dari agama mereka dan agama kita adalah yang terbaik dari semua agama.” Aku bertanya, “Bagaimana kalian mengetahui hal itu?” Kakekku berkata, ”Aku telah mengetahuinya dan jangan sekali-kali kamu membaca kitab ini.” Akupun terdiam dan tidak tahu lagi apa yang harus aku ucapkan. Kemudian aku bertanya kepada nenekku, ibuku, paman-pamanku, tapi jawaban yang aku dapati sama semua, “jangan kamu bacakitab ini.” Aku bertanya pada diriku, “Apa rahasia dalam kitab ini? Kenapa mereka melarangku membacanya? Apakah mungkin seseorang mengatakan sesuatu tentang agamanya tapi ia berbohong kepada penciptanya? Apa yang terjadi kalau aku baca kitab ini?” Dan pertanyaan lain yang selalu terlintas dalam benakku. Akhirnya aku bertekad untuk membaca kitab ini secara sembunyi dalam kamar. Aku membacanya berulang-ulang dan aku memulainya dengan mencari agama yang dianut Isa ‘Alaihi Salam. Pada tahun 1947 M, aku tinggalkan bangku sekolah dan aku tidak lagi menghadiri acara-acara ritual keagamaan. Lalu aku pergi ke sebuah rumah yang di huni oleh seorang yang sudah tua. Aku memintanya untuk mengisahkan padaku tentang para nabi yang masyhur di kalangan mereka seperti Daud, Sulaiman, Ibrahim, Musa, Nuh dan Adam ‘Alaihimus Salam. Dan aku juga bertanya kepadanya tentang beberapa permasalahan agama. Ketika ayahku mengetahuiku meninggalkan bangku sekolah, ia sangat marah dan mengancam akan membunuhku. Kemarahannya memuncak saat ia mengetahuiku tidak lagi pergi ke gereja menghadiri sembahyang pada hari Minggu. 17 TAHUN TANPA LELAH Akan tetapi, apakah kamu melemah dengan ancaman ayahmu? Aku tidak berhenti untuk mencari keyakinan, aku mulai berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya selama 17 tahun tanpa merasa lelah. SAAT BERPINDAH AGAMA Bagaimana kisah di saat kamu berpindah agama? Pada tahun 1963 aku sampai di kota Marawi di pulau Mindanao sebelah selatan Filipina yang berpenduduk Muslim. Sebagaimana kebiasaanku, bahwa ketika aku sampai di suatu kota maka tempat pertama yang aku singgahi adalah tempat peribadatan. Maka aku masuk ke sebuah Masjid Jami’. Pada saat itu kaum Muslimin sedang melaksanakan shalat maghrib. Aku menanti mereka hingga usai. Lantas aku menemui imam masjid dan orang-orang berkumpul di sekitar kami. Aku bertanya kepada sang imam, “Pekerjaan apa yang baru saja kalian lakukan?” ia menjawab, “Shalat.” Aku kembali bertanya, “Apakah ini agama kalian?” Ia jawab, “Benar.” Aku katakan, “Apa nama agama kalian?” Ia jawab, “Islam.” Aku tanyakan, “Siapa Tuhan kalian?” Ia jawab, “Allah.” Aku bertanya lagi, “Siapa Nabi kalian?” Ia menjawab, “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Aku terdiam, karena tiga kata tersebut baru kali ini aku dengar. Aku berfikir dan kembali bertanya, “Bagaimana pendapat kalian mengenai al-Masih?” ia jawab, “Ia adalah Isa bin Maryam ‘Alahis Salam dan ia adalah nabi Allah.´Aku katakan, “Apa agamanya?” Ia menjawab, “Islam, karena semua para nabi beragama Islam.” Karena waktu yang terbatas aku tidak mungkin memperpanjang pembicaraan, sementara aku masih asing di kota tersebut. Lalu aku berkata, “Apakah kalian punya buku yang mungkin aku baca?” laantas ia memberiku tiga buah buku berbahasa inggris. I. Buku Dinul Islam (agama Islam) tulisan Ahmad Ghawwasy. II. Terjemahan makna Al-Qur’an tulisan Abdullah Yusuf Ali. III. Buku kecil tentang akidah. Kemudian aku keluar dari masjid ke tempat yang aku tuju. Aku mulai membaca buku tersebut dengan teliti selama sepuluh hari dari awal sampai akhir, ternyata di dalamnya terdapat apa yang aku cari. Pada akhirnya aku berkeyakinan bahwa sekarang telah aku dapatkan agama yang di anut oleh Isa ‘Alaihis Salaam yang aku cari-cari selama dua puluh tahun. Dalam buku itu diterangkan mengenai tata cara wudhu’ dan rukun shalat. Aku kembali membaca buku tersebut sekaligus menghafalnya hungga aku mampu mempraktekkannya. Lalu pada jum’at pagi tepatnya tanggal 24 Juni 1963 M, aku mendatangi rumah sang Imam dan aku bertanya, “Bolehkah bagi seorang yang bukan Muslim untuk memeluk agama Islam?” jawabnya, “Boleh karena agama Islam bukan hanya untuk kaum Muslimin, tetapi untuk seluruh manusia. Peluklah agama Islam!” Kemudian ia mengajarkanku tentang bagaimana cara berwudhu’, mengucapkan syahadat dan tata cara shalat. Setalah aku selesai melaksanakan shalat, aku bertanya, “Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang Muslim?” Ia menjawab, “Benar.” BELAJAR EMPAT TAHUN Aku mulai mempelajari agama Islam di sebuah madrasah Islam di kota itu selama kurang lebih empat tahun. Kemudian aku pergi ke Makkah Mukarramah pada tahun 1966 belajar di madrasah Shaulatiyah. Pada akhir tahun 1967 aku berhasil mendapatkan surat izin tinggal untuk pelajar. Pada tahun 1978 aku di terima di Jami’ah Islamiyah di Madinah al-Munawwarah hingga tahun 1979 dan mendapat ijazah dari Fakultas Dakwah dan Ushuluddin. Lalu aku di kirim melalui Darul Ifta’ –sebelum menjadi departemen- ke wilayah Sabah Malaysia hingga saat ini.

0 Sepuluh perkara Yang mematikan hati

Syaqiq Al-Balkhi, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi Al-Bantani, menuturkan bahwa Ibrahim bin Adham pernah berjalan-jalan di pasar-pasar di kota Bashrah (Irak). Lalu orang-orang datang kepadanya dan berkumpul disekitarnya. Mereka bertanya kepadanya tentang firman Allah Ta’ala QS. Ghafir : 60. “Kami,”kata mereka,”sejak lama berdo’a kepada Allah Ta’ala, namun Dia tidak mengabulkan do’a kami.” Mendengar hal itu Ibrahim bin Adham berkata,”Wahai penduduk Bashrah, itu karena qalbu-qalbu kalian sesungguhnya telah mati karena sepuluh perkara. Jadi, bagaimana mungkin Allah mengabulkan do’a kalian?!” Kesepuluh perkara itu, kata Ibrahim bin Adham, adalah : 1. Sesungguhnya kalian mengaku mengenal Allah Ta’ala (yakni memahami bahwa Dia Pencipta kalian dan Pemberi rezeki kepada kalian), namun kalian tidak menunaikan hak-hak-Nya (dengan senantiasa beribadah/mengabdi kepada Dia sebagaimana yang Dia perintahkan kepada kalian). 2. Sesungguhnya kalian membaca Kitabullah, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya. 3. Sesungguhnya kalian mengklaim memusuhi setan, namun kalian justru berteman dengan dia (sering mengikuti berbagai ajakan / perintahnya). 4. Sesungguhnya kalian mengklaim mencintai Baginda Rasulullah SAW, tetapi kalian meninggalkan jejak (amal)-nya dan menanggalkan sunnah-sunnah –nya tanpa berusaha mengikutinya. 5. Sesungguhnya kalian mengklaim mencintai surga, namun kalian tidak beramal demi meraih surga itu (tidak melakukan amalan-amalan yang dapat memasukan kalian ke dalam surga tersebut). 6. Sesungguhnya kalian mengklaim takut terhadap adzab neraka, tapi kalian justru tidak pernah berhenti melakukan banyak dosa (yang bisa menyebabkan kalian jatuh kedalam adzab neraka). 7. Sesungguhnya kalian mengklaim (meyakini) bahwa kematian itu hak (benar-benar akan terjadi) namun kalian tidak berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian tersebut (tidak berusaha memperbanyak amal sholih untuk bekal menghadapi kematian). 8. Sesungguhnya kalian sering sibuk mengurusi aib-aib orang lain (sering melakukan ghibah), tetapi kalian lalai memperhatikan aib-aib diri sendiri (tidak berusaha memperbaiki diri). 9. Sesungguhnya kalian memakan rezeki Allah Ta’ala tetapi kalian tidak mau bersyukur kepada-Nya (syukur seorang hamba kepada Allah Ta’ala adalah dengan cara biasa memuji Dia dengan sering menyebut kebaikanNya, kemudian selalu berusaha tunduk dan taat kepadaNya). 10. Sesungguhnya kalian sering menguburkan orang-orang yang meninggal di antara kalian, namun kalian tidak mengambil ibrah dan pelajaran dari kematian. Kalian tidak berusaha menyadari padahaljika kalian menyadari, kalian akan merindukan apa yang di raih oleh pelaku kebaikan dan membenci apa yang di dapat oleh pelaku keburukan. (An-Nawawi, Nasha’ih al-‘ibad, hal. 75) Itulah sepuluh perkara yang membuat hati seorang muslim menjadi mati sehingga doa-doanya tidak di kabulkan oleh Allah Ta’ala. Dari penjelasan Ibrahim bin Adham tentang sepuluh perkara yang mematikan hati di atas, tentu kita bisa memahami kebalikannya, yaitu sepuluh perkara yang bisa membuat kalbu-kalbu kita senantiasa tetap hidup. 1. Mengenal Allah sebagai Pencipta dan Pemberi Rezeki seraya beribadah dengan selalu tunduk dan patuh pada segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangannya. 2. Membaca, mengkaji sekaligus mengamalkan isi Al-Qur’an. 3. Menjadikan iblis atau setan sebagai musuh dengan benar-benar tidak mengikuti berbagai ajakan dan perintahnya. 4. Mencintai Baginda Rasulullah SAW seraya berusaha untuk selalu mengikuti jejak langkah Beliau dan jalan kehidupan beliau. 5. Selalu merindukan surga yang dibuktikan senantiasa memperbanyak amal shalih untuk bisa masuk ke dalamnya. 6. Senantiasa takut terhadap adzab neraka yang di buktikan dengan berusaha berhenti dari berbuat dosa dan kemaksiatan yang dapat menjerumuskan diri ke dalamnya. 7. Meyakini bahwa kematian itu haq (pasti terjadi)sehungga selalu berusaha mempersiapkan bekal amal-amal sholih untuk menghadapi kematian tersebut. 8. Senantiasa sibuk memperhatikan sekaligus memperbaiki aib-aib diri dan tidak sibuk memperhatikan aib-aib orang lain. 9. Memakan rezeki Allah Ta’ala yang halal dan baik seraya mensyukurinya dengan banyak memujinya sekaligus tunduk dan patuh kepada-Nya. 10. Berusaha mengambil banyak ‘ibrah dan pelajaran dari kematian orang-orang yang lebih dahulu meninggalkan kita. Wa maa taufiiqi illa bilLah.

0 Peradaban Islam Peletak Dasar Teknologi Dirgantara

DUNIA memang semakin canggih. Berbagai teknologi hadir untuk kepentingan umat manusia. Salah satu teknologi yang saat ini sangat dirasakan manfaatnya adalah teknologi kedirgantaraan, salah satunya pesawat terbang. Jarak tempuh satu wilayah yang tadinya jauh, kini bisa dipersingkat dengan menggunakan pesawat terbang. Bahkan seiring bergulirnya waktu, pesawat terbang juga dimanfaatkan untuk mengintai wilayah musuh. Masih banyak lagi jenis pesawat terbang yang digunakan untuk berbagai kepentingan manusia. Tak banyak yang tahu siapa pihak yang pertama kali mengagas ide teknologi pesawat terbang. Memang, selama ini peradaban Barat selalu mengklaim bahwa teknologi pesawat terbang berasal dari ide para ilmuwannya. Namun, klaim itu terpatahkan oleh pernyataan Sejarawan Barat, Philip K Hitti, dalam bukunya yang bertajukHistory of the Arabs. “Ibnu Firnas adalah manusia pertama dalam sejarah yang melakukan percobaan ilmiah untuk melakukan penerbangan,'” tulis K Hitti. Konsep pesawat terbang Ibnu Firnas inilah yang kemudian dipelajari Roger Bacon setelah 500 tahun Ibnu Firnas meletakkan teori-teori dasar pesawat terbang. Berawal dari Eksperimen Siapa Ibnu Firnas? Ibnu Firnas adalah ilmuwan Muslim yang lahir di Korah Takrna dekat Ronda, Spanyol pada masa pemerintahan Khalifah Muhammad Amir Bin Abdurrahman. Ibnu Firnas adalah seorang polymath, yaitu menekuni berbagai ilmu sekaligus: kimia, fisika, kedokteran, astronomi, dan juga sastra. Ibnu Firnas tercatat pernah melakukan berbagai eksperimen, antara lain membuat kaca dari pasir dan batu. Ia juga menemukan rantai cincin yang menggambarkan pergerakan bintang dan planet-planet. Selain itu, ia juga merancang alat pengukur waktu yang disebut al-maqata. Pada tahun 875 M, Ibnu Firnas mengundang masyarakat Cordoba untuk berkumpul di sebuah bukit di Andalusia, Spanyol. Masyarakat diundang guna menyaksikan uji coba sebuah pesawat yang dirancangnya. Ibnu Firnas memamerkan pesawatnya yang bertenaga dorong baling-baling. Dua bagian sayap pesawatnya berkaitan dengan kaki dan tangannya. Setelah itu, Ibnu Firnas naik ke menara lalu melompat. Ibnu Firnas berhasil melayang di atas ketinggian beberapa ratus kaki, lalu membumbung tinggi. Peristiwa menakjubkan ini dicatat oleh seorang penyair bernama Mu’min Ibnu Said yang mengatakan, “ Ibnu Firnas terbang lebih cepat daripada burung phoenix. Ketika mengenakan bulu-bulu di badannya ia seperti burung manyar.” Ibnu Firnas tercatat sebagai orang pertama di dunia yang melakukan uji coba penerbangan terkendali. Dengan semacam alat kendali terbang yang digunakan pada dua set sayap, Ibnu Firnas bisa mengontrol serta mengatur ketinggian terbangnya. Selain itu, dia juga bisa mengubah arah terbang. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilannya kembali ke arah di mana ia meluncur. Sebelumnya, pada 852 M Ibnu Firnas juga melakukan uji coba terbang. Ibnu Firnas membuat satu set sayap yang terbuat dari kain yang dikeraskan dengan kayu. Alat yang diciptakan Ibnu Firnas berupa ornithopter, yakni alat terbang yang menggunakan prinsip kepakan sayap seperti pada burung, kelelawar, atau serangga. Dengan peralatan seperti payung, Ibnu Firnas lalu loncat dari menara Masjid Agung Cordoba. Pada uji coba pertama itu, Firnas tak bisa terbang alias gagal. Namun, peralatan yang digunakannya mampu memperlambat jatuhnya Ibnu Firnas. Ia pun mendarat dengan selamat dengan hanya mengalami luka kecil. Alat yang digunakan Ibnu Firnas inilah yang merupakan cikal bakal parasut. Kegagalan ini ia evaluasi dengan memperhatikan bagaimana burung menggunakan ekor mereka untuk mendarat. Ia lupa untuk menambahkan ekor pada model pesawat layang ciptaaanya. Barat Melirik Ilmuwan Muslim lain yang pernah melanjutkan percobaan terbang Ibnu Firnas adalah Farabi Ismail Jauhari, seorang guru bahasa Arab yang berasal dari Nishabur, Khurasan, Iran. Isamail Jauhari melakukan percobaannya pada tahun 1003. Seperti halnya Ibnu Firnas, Ismail Jauhari merancang sayap terbang yang dapat digerakkan dengan tangan dan kaki, seperti halnya seekor burung, selanjutnya meluncur dari tempat-tempat tinggi. Salah satu tempat percobaan Ismail Jauhari adalah menara Masjid Ulu Nishabur. Pada tahun 1162, saat berkecamuk perang salib, para tentara Muslim mulai menggunakan pesawat terbang untuk melakukan serangan. Para Saracen (Muslim zaman perang salib) berdiri di atas Hippodrome Constantinople dengan sebuah peralatan terbang seperti jubah. Teknologi persawat terbang yang dirancang oleh Ibnu Firnas rupanya membuat Leonardo Da Vinci tertarik untuk mengembangkan teknologi itu. Pada abad 16 Da Vinci mencoba memecahkan teka-teki pesawat terbang yang diperkenalkan Ibn Firnas. Da Vinci merasa terkunci dengan misteri burung-burung hingga ilmuwan asal Italia itu melakukan pembedahan terhadap unggas yang menghasilkan rancangan mesin terbang yang diikatkan di punggung seorang laki-laki. Semakin Berkembang Setelah Da Vinci, percobaan penerbangan yang lebih moderen dan berhasil dilakukan oleh Hezarfen Ahmed Celebi, pilot Turki paling terkenal pada masa Khalifah Usmani di bawah pemerintahan Sultan Murad IV. Diilhami rancangan Da Vinci, dengan mengoreksi beberapa bagian dan sistim keseimbangannya, Hezarfen mengambil pelajaran burung rajawali. Setelah melakukan sembilan kali percobaan, Hezarfen menemukan formula yang pas untuk sayap pesawatnya. Pada tahun 1638, dengan ketinggian 183 kaki dari Galata Tower di dekat Bosporus Istambul, Hezarfen melakukan uji coba penerbangan. Hezarfen terbang menuju Uskudar lalu berbelok ke Bosporus, dan sukses! Hezarfen mendarat mulus di sebuah tempat di Borporus. Jarak terbang yang telah ia tempuh jika diukur dari titik awal tempatnya meluncur adalah sekitar 3200 meter. Karena ia memulai terbangnya di wilayah Eropa dan mendarat di Asia, maka Hezarfen merupakan orang yang pertama melakukan penerbangan lintas benua. Sultan Murad IV yang menyaksikan sendiri peristiwa tersebut dari tempat peristirahatannya yang bernama Sinan Pasha di Sayayburnu, memberi penghargaan kepada Hezrfen 1000 keping emas. “Hezarfen Ahmet Celebi, pertama kali mencoba terbang sebanyak delapan atau sembilan kali dengan sayap elang menggunakan tenaga angin,” ujar Evliya Celebi dalam buku catatan perjalanannya yang tersimpan rapi di Perpustakaan Istanbul. “Hezarfen Ahmet Celebi telah membuka era baru dalam sejarah penerbangan,” papar Sultan Murad. Upaya serupa juga dilakukan saudara laki-laki Hezarfen pada tahun 1633 M yang bernama Lagari Hasan Celebi. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa terbang berawak vertikal pertama yang menggunakan sistem pendorong 7 buah roket dengan bubuk mesiu sebanyak 300 pound. Menurut catatan Evliya Celebi, Lagari berhasil mencapai ketinggian kira-kira 300 meter selama 20 detik. Sebagai penghargaan atas prestasinya itu, Lagari Hasan Celebi dingkat menjadi salah satu pejabat militer di Angkatan Darat Turki. Sementara itu di Eropa, berita kesuksesan penerbangan Celebi bersaudara sampai di Inggris pada tahun 1638, dan dicatat oleh John Winkins dalam bukunya yang berjudul Discovery of New World. * Sumber : http://www.hidayatullah.com/read/23119/13/06/2012/peradaban-islam-peletak-dasar-teknologi-dirgantara.html

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Kesepuluh HAK NON MUSLIM

Non muslim berarti mencakup semua orang kafir, mereka terbagi menjadi empat bagian : Harbi (kafir yang memerangi kamu muslimin), musta’min (kafir yang meminta perlindungan kepada kaum muslimin), mu’ahid (Kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin) dan dzimmi (Kafir yang berada dibawah kekuasaan dan perlindungan kaum muslimin). Terhadap kafir harbi maka kaum muslimin tidak memiliki kewajiban atas mereka, baik berupa perlindungan ataupun pengawasan. Terhadap kafir musta’min maka kaum muslim wajib melindungi mereka pada waktu dan tempat yang telah ditentukan untuk memberikan keamanan kepada mereka. Berdasarkan firman Allah ta’ala : وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُـمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَــنَهُ [ سورة التوبة : 6 ] Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (At Taubah: 6) Terhadap kafir mu’ahid maka kita wajib melaksanakan perjanjian yang telah kita sepakati kepada mereka selama mereka juga konsisten kepada kita dalam perjanjian tersebut, tidak menguranginya dan tidak membantu seorangpun untuk mencelakakan kita dan tidak melecehkan agama kita, berdasarkan firman Allah ta’ala : إِلاَّ الَّذِيْنَ عَـهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَلَمْ يُظَـهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ [ التوبة : 4 ] Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa (At -Taubah 4) وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَـنَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِيْنِكُمْ فَقَـتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَـنَ لَهُمْ [سورة التوبة : 12] Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya (At Taubah 12) Adapun terhadap orang-orang dzimmi maka mereka adalah merupakan golongan yang paling banyak hak dan kewajibannya. Hal tersebut karena mereka hidup di negri kaum muslimin dan di bawah perlindungan dan pengawasannya sesuai dengan jizyah (upeti ) yang mereka bayar. Wajib bagi pemerintahan muslim untuk memerintah mereka dengan hukum Islam baik dalam urusan jiwanya, hartanya dan kehormatan-nya juga (wajib) dilaksanakan hudud atas mereka yang melakukan tindak kriminalitas. Wajib pula melindungi mereka serta menjauhkan perbuatan yang menyakiti mereka. Juga wajib membedakan mereka dari kaum muslimin dalam masalah pakaian dan tidak boleh bagi mereka menampakkan syi’ar-syi’ar agama mereka seperti lonceng atau salib. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ahli dzimmah banyak terdapat dalam kitab-kitab para ulama dan kami tidak membahasnya lebih panjang lagi. والحمد لله رب العالمين وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين,,, Catatan: Mengerjakan hak-hak ini merupakan salah satu sebab tumbuhnya kecintaan antara kaum muslimin serta dapat menghilangkan permusuhan dan pertikaian diantara mereka sebagaimana perbuatan-perbuatan tersebut dapat menjadi sebab terhapusnya keburukan dan berlipat gandanya kebaikan serta terangkatnya derajat. Semoga Allah ta’ala memberi taufiq bagi kaum muslimin untuk mengamalkannya.

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Kesembilan HAK KAUM MUSLIMIN SECARA UMUM

Hak dalam masalah ini banyak sekali, diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ وَإِذَا عَطِسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ [رواه مسلم] Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam: Jika engkau menemuinya maka berilah salam, dan jika dia mengundangmu maka penuhilah, jika dia minta nasihat kepadamua berilah nasihat, jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah maka balaslah (dengan doa يَرْحَمُكَ الله ), jika dia sakit maka kunjungilah dan jika dia meninggal maka antarkanlah (ke kuburan) (Riwayat Muslim) Dalam hadits diatas terdapat keterangan tentang beberapa hak diantara kaum muslimin: Hak pertama: Mengucapkan salam. Mengucapkan salam adalah sunnah yang sangat dianjurkan, karena dia merupakan penyebab tumbuhnya rasa cinta dan dekat dikalangan kaum muslimin sebagaimana dapat disaksikan dan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam . وَاللهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُوا أَفَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ [رواه مسلم] Demi Allah tidak akan masuk syurga hingga kalian beriman dan tidak beriman hingga kalian saling mencintai, maukah kalian jika aku beritakan kepada kalian sesuatu yang jika kalian praktekkan akan menumbuhkan rasa cinta diantara kalian ?, Sebarkan salam diantara kalian (Riwayat Muslim) Adalah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam . yang selalu memulai salam kepada siapa saja yang dia temui dan bahkan dia memberi salam kepada anak-anak jika dia menemui mereka. Sunnahnya adalah yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak, yang berkendaraan memberi salam kepada pejalan kaki, akan tetapi jika yang lebih utama tidak juga memberikan salam maka yang lainlah yang hendaknya memberikan salam agar sunnah tersebut tidak hilang. Jika yang kecil tidak memberi salam maka yang besar memberikan salam, jika yang sedikit tidak memberi salam maka yang banyak memberi salam agar pahalanya tetap dapat diraih. Ammar bin Yasir radiallahuanhu berkata: “ Ada tiga hal yang jika ketiganya diraih maka sempurnalah iman seseorang: Jujur (dalam menilai) dirinya, memberi salam kepada khalayak dan berinfaq saat kesulitan“ (Riwayat Muslim). Jika memulai salam hukumnya sunnah maka menjawabnya adalah fardhu kifayah, jika sebagian melakukannya maka yang lain gugur kewajibannya. Misalnya jika seseorang memberi salam atas sejumlah orang maka yang menjawabnya hanya seorang maka yang lain gugur kewajibannya. Allah ta’ala berfirman : وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيِّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا [سورة النساء : 86] Apabila kamu dihormati dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balalaslah dengan yang serupa (An Nisa :86) Tidak cukup menjawab salam dengan mengucapkan: “Ahlan Wasahlan“ saja, karena dia bukan termasuk “yang lebih baik darinya”, maka jika seseorang berkata : “Assalamualaikum”, maka jawablah: “Wa’alaikum salam”, jika dia berkata : “Ahlan”, maka jawablah : “Ahlan” juga, dan jika dia menambah ucapan selamatnya maka itu lebih utama. Hak Kedua : Memenuhi undangan Misalnya seseorang mengundang anda untuk makan-makan atau lainnya maka penuhilah dan memenuhi undangan adalah sunnah mu’akkadah dan hal itu dapat menarik hati orang yang mengundang serta mendatangkan rasa cinta dan kasih sayang. Dikecualikan dari hal tersebut adalah undangan perkawinan, sebab memenuhi undangan tersebut adalah wajib dengan syarat-syarat yang telah dikenal ). Rasulullah  bersabda : وَمَنْ لاَ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ [رواه البخاري ومسلم] Dan siapa yang tidak memenuhi (undangannya) maka dia telah maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya (Riwayat Bukhori dan Muslim) Hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam . :“Jika seseorang mengundangmu maka penuhilah” termasuk juga undangan untuk memberikan bantuan atau pertolongan. Karena anda diperintahkan untuk menjawabnya, maka jika dia memohon kepada anda agar anda menolongnya untuk membawa sesuatu misalnya atau membuang sesuatu, maka anda diperintahkan untuk menolongnya, berdasarkan hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam : الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضاً [رواه البخاري ومسلم] Setiap mu’min satu sama lainnya bagaikan bangunan yang saling menopang (Riwayat Bukhori dan Muslim). Hak ketiga : Jika dia meminta nasihat maka penuhilah. Yaitu jika seseorang datang meminta nasihat kepadamu dalam suatu masalah maka nasihatilah karena hal itu termasuk agama sebagaimana hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam .: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَِئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ [رواه مسلم] Agama adalah nasihat: Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada para pemimpin kaum muslimin serta rakyat pada umumnya (Riwayat Muslim) Adapun jika seseorang datang kepadamu tidak untuk meminta nasihat namun pada dirinya terdapat bahaya atau perbuatan dosa yang akan dilakukannya maka wajib baginya untuk menasihatinya walaupun perbuatan tersebut tidak diarahkan kepadanya, karena hal tersebut termasuk menghilangkan bahaya dan kemunkaran dari kaum muslimin. Adapun jika tidak terdapat bahaya dalam dirinya dan tidak ada dosa padanya dan dia melihat bahwa hal lainnya (selain nasihat) lebih bermanfaat maka tidak perlu menasihatinya kecuali jika dia meminta nasihat kepadanya maka saat itu wajib baginya menasihatinya. Hak keempat : Jika dia bersin lalu mengucapkan “Al Hamdulillah” maka jawablah dengan ucapan : “Yarhamukallah”. Sebagai rasa syukur kepadanya yang memuji Allah saat bersin, adapun jika dia bersin tetapi tidak mengucapkan hamdalah maka dia tidak berhak untuk diberikan ucapan tersebut, dan itulah balasan bagi orang yang bersin tetapi tidak mengucapkan hamdalah. Menjawab orang yang bersin (jika dia mengucapkan hamdalah) hukumnya wajib, dan wajib pula menjawab orang yang mengucapkan “Yarhamkallah” dengan ucapan “Yahdikumullah wa yuslih balakum”, dan jika seseorang bersin terus menerus lebih dari tiga kali maka keempat kalinya ucapkanlah “Aafakallah/ عَافَاكَ الله “ ( Semoga Allah menyembuhkan anda ) sebagai ganti dari ucapan “Yarhamkallah “. Hak kelima : Membesuknya jika dia sakit. Hal ini merupakan hak orang sakit dan kewajiban saudara-saudaranya seiman, apalagi jika yang sakit memiliki kekerabatan, teman dan tetangga maka membesuknya sangat dianjurkan. Cara membesuk sangat tergantung orang yang sakit dan penyakitnya. Kadang kondisinya menuntut untuk sering dikunjungi, maka yang utama adalah memperhatikan keadaannya. Disunnahkan bagi yang membesuk orang sakit untuk menanyakan keadaannya, mendoakannya serta menghiburnya dan memberinya harapan karena hal tersebut merupakan sebab yang paling besar mendatangkan kesembuhan dan kesehatan. Layak juga untuk mengingatkannya akan taubat dengan cara yang tidak menakutkannya, misalnya seperti berkata kepadanya : “Sesunnguhnya sakit yang engkau derita sekarang ini mendatangkan kebaikan, karena penyakit dapat berfungsi menghapus dosa dan kesalahan dan dengan kondisi yang tidak dapat kemana-mana engkau dapat meraih pahala yang banyak, dengan membaca zikir, istighfar dan berdoa”. Hak keenam: Mengantarkan jenazahnya jika meninggal. Hal ini juga merupakan hak seorang muslim atas saudaranya dan didalamnya terdapat pahala yang besar. Terdapat riwayat dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa dia bersabda : Siapa yang mengantarkan jenazah hingga menshalatkannya maka baginya pahala satu qhirath, dan siapa yang mengantarkannya hingga dimakamkan maka baginya pahala dua qhirath”, beliau ditanya : “Apakah yang dimaksud qhirath ?”, beliau menjawab: “Bagaikan dua gunung yang besar “ (Riwayat Bukhori dan Muslim). Hak Ketujuh : Tidak menyakiti saudaranya Termasuk hak muslim kepada muslim yang lainnya adalah menahan diri untuk tidak menyakitinya, karena menyakiti kaum muslimin adalah dosa yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman : وَالَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَـناً وَإِثْماً مُبِيْناً [سررة الأحزاب : 58] Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata (Al Ahzab: 58) Dan pada umumnya siapa yang melakukan perbuatan yang menyakitkan saudaranya maka Allah akan membalasnya di dunia sebelum dibalas di akhirat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : لاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً ، الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُخْذلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ بِحَسَبٍ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمُ كُلُّ الْمُسْلِمُ عَلَى الْمُسْلِمُ حَرَامٌ : دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ . [رواه مسلم] Janganlah kalian saling membenci dan saling membelakangi, tapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya dan tidak menghinanya. Cukup bagi seseorang dikatakan (berperangai) buruk jika dia menghina saudaranya. Setiap muslim atas muslim yang lainnya diharam-kan; darahnya, hartanya dan kehormatannya (Riwayat Muslim) Hak-hak muslim atas saudaranya yang muslim banyak sekali, akan tetapi kita dapat menyimpulkan semua itu dalam sebuah hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam: المْسُلْمِ أًخُو الْمُسْلِمِ Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya Jika seseorang mewujudkan sikap ukhuwwah terhadap saudaranya maka dia akan berusaha untuk mendatangkan kebaikan kepada semua saudaranya serta menghindar dari semua perbuatan yang menyakitkannya.

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Kedelapan HAK TETANGGA

Tetangga adalah orang yang tinggal dekat rumah anda, baginya terdapat hak yang banyak. Jika dia sanak saudara anda dan muslim maka baginya ada tiga hak: Hak tetangga, hak kekerabatan dan hak Islam, adapun jika dia termasuk sanak saudara tapi non muslim maka baginya ada dua hak: hak tetangga dan hak kekerabatan sedangkan jika bukan sanak saudara dan juga non muslim maka baginya satu hak: hak tetangga (Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al Bazzar lewat sanadnya dari Hasan dari Jabir bin Abdullah, disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir surat An Nisa ayat 36) Allah ta’ala berfirman : وِبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَـناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَمَى وَالْمَسَكِيْنَ وَالْجَارِ ذِيْ الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ [ النساء : 36] Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh (An Nisa: 36) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِاْلجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ [متفق عليه] (Malaikat) Jibril selalu mewasiatkan kepadaku tentang tetangga hingga aku mengira bahwa tetangga dapat mewariskan (tetangga lain)-nya (Muttafaq alaih) Diantara hak-hak tetangga terhadap tetangganya adalah berlaku baik kepadanya semampu dia, baik berupa harta, kehormatan dan manfaat, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : خَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ [رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح] Sebaik-baik tetangga disisi Allah adalah yang paling baik terhadap tetangganya (Riwayat Turmuzi dan dia berkata haditsnya hasan gharib) beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ [رواه مسلم] Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berlaku baik terhadap tetangganya (Riwayat Muslim) إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ [رواه مسلم] Jika engkau memasak masakan berkuah maka banyakkanlah airnya dan bagilah tetanggamu (Riwayat Muslim) Termasuk berbuat baik terhadap tetangga adalah memberikan hadiah kepadanya dalam peristiwa-peristiwa tertentu, karena hadiah dapat mendatangkan rasa cinta dan menghapus permusuhan. Termasuk hak tetangga atas tetangganya adalah menahan perkataannya dan perbuatannya dari perbuatan yang menyakitinya. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : وَاللهِ لاَ يُؤْمِنْ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنْ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنْ قَالُوا مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ -وَفيِ رِوَايَةٍ- لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارَهُ بَوَائِقَهُ [رواه البخاري] Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman”, mereka bertanya “ Siapa yaa Rasulullah ?“, beliau bersabda : “Yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya “ –dalam riwayat yang lain- “Tidak masuk syurga orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya (Bukhori) Pada zaman sekarang banyak orang yang tidak memperhatikan hak tetangga sehingga tetangganya tidak aman dari keburukannya. Seringkali tampak diantara mereka terjadi percekcokan dan sengketa serta pelecehan terhadap hak-haknya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Semua itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya dan dapat menyebabkan perpecahan serta ketidak harmonisan dikalangan muslimin dan hilangnya penghormatan diantara mereka satu sama lain.

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Ketujuh HAK PEMIMPIN DAN RAKYATNYA

Yang dimaksud adalah pemimpin yang mengatur semua perkara kaum muslimin, baik kepemimpinannya bersifat umum sebagaimana presiden dalam sebuah negara atau bersifat khusus seperti dalam sebuah lembaga tertentu atau dalam pekerjaan tertentu, setiap mereka memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh rakyatnya dan rakyatnya juga memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pemimpinnya. Hak rakyat yang merupakan kewajiban pemimpin adalah menunaikan amanah yang Allah bebankan kepada mereka dan wajib memberikan pengarahan kepada rakyatnya serta berjalan diatas peraturan-peraturan yang lurus yang menjamin kemaslahatan dunia dan akhirat. Hal tersebut terwujud dengan cara mengikuti jejak kaum muslimin dan jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya didalamnya terdapat kebahagiaan bagi mereka dan rakyatnya dan siapa saja yang dibawah tanggung jawab mereka dan inilah hal yang paling efektif untuk membuat rakyatnya ridha kepada pemimpinnya, hubungan terjalin diantara mereka, rakyat akan tunduk terhadap perintah mereka dan menjaga amanah yang dilimpahkan kepada mereka. Sesungguhnya siapa yang bertakwa kepada Allah maka manusia akan segan kepadanya dan siapa yang mengejar keridhoan Allah, maka cukuplah Allah yang akan menjadikan manusia sebagai pendukungnya dan ridho kepadanya karena hati manusia ada di tangan Allah, Dia yang merubahnya sesukanya. Adapun hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah memberikan nasihat atas kepemimpinan mereka atas berbagai urusan rakyatnya serta memberikan peringatan jika mereka melakukan kelalaian dan mendoakan mereka jika mereka mulai berpaling dari kebenaran. Melaksanakan segala perintah mereka jika didalamnya tidak terdapat maksiat kepada Allah, karena hal tersebut menjadikan segala urusan berjalan tertib dan teratur. Sebaliknya jika tidak tunduk kepada setiap perintah mereka, terjadilah kekacaun dan berbagai urusan menjadi tidak teratur . Karena itu Allah ta’ala memerintahkan untuk ta’at kepada-Nya, ta’at kepada Rasul-Nya dan kepada para pemimpin. Firmannya: يَاأَيًّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ [سورة النساء : 59] Wahai orang-orang yang beriman ta’atlah kalian kepada Allah dan ta’atlah kalian kepada Rasul dan pemimpin diantara kalian (Surat An-Nisa :59). Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أَمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ [متقف عليه] Bagi seorang muslim wajib mendengar dan ta’at (kepada para pemimpinnya), baik hal itu dia sukai ataupun dia benci, kecuali jika dia diperintahkan melakukan maksiat, jika (pemimpin) memerintahkan kepada kemaksiatan maka tidak boleh didengar dan dita’ati (Muttafaq alaih) Abdullah bin Umar berkata : Saat kami bersama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, kami singgah pada sebuah tempat, maka seseorang penyeru Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam menyerukan “Asshalaatu Jaami’ah” (Mari shalat berjamaah), maka berkumpullah kami bersama Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam lalu dia bersabda : Tidak ada seorang nabipun yang diutus Allah ta’ala kecuali dia harus mengarahkan ummatnya pada kebaikan yang dia ketahui kepada mereka (umatnya), dan memperingat-kan mereka atas keburukan apa yang dia ketahui, dan sesungguhnya ummat kalian kebaikannya telah diberikan kepada generasi pertama, sedangkan generasi berikutnya akan ditimpa ujian dan berbagai perkara yang mereka tolak, Akan datang fitnah sehingga satu sama lain saling memperbudak, dan kemudian datang fitnah hingga seorang mu’min akan berkata : “Inilah kehancuranku”, kemudian datang lagi fitnah dan orang-orang akan berkata serupa. Maka siapa yang ingin dihindarkan dari api neraka dan dimasukkan dalam syurga hendaklah dia menemui kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah kamu melakukan sesuatu terhadap orang lain apa-apa yang kamu suka seandainya hal tersebut dilakukan orang lain terhadap kamu. Dan barang siapa yang berbai’at kepada seorang imam dengan mengulurkan tangannya dan dengan sepenuh hati maka hendaklah dia mentaatinya semampunya dan jika datang (pemimpin) yang lainnya dan menentangnya maka tebaslah batang leher pemimpin yang lain itu”. Seseorang bertanya kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu jika ada seorang pemimpin yang selalu menuntut kepada kami hak mereka dan menahan hak-hak kami, apa yang engkau perintahkan, lalu beliau berpaling darinya, kemudian dia bertanya hal itu lagi, maka bersabdalah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Dengarkanlah (pemimpin itu) dan ta’atilah, karena bagi mereka apa yang dibebankan untuk mereka dan bagi kalian apa yang dibebankan untuk kalian (Riwayat Muslim) Diantara hak-hak para pemimpin yang merupakan kewajiban rakyatnya adalah bantuan rakyatnya dalam melaksanakan kewajiban mereka dalam bentuk realisasi atas setiap tuntutan yang ditugaskan kepada mereka dan agar setiap warga negara mengetahui perannya dan tanggung jawabnya dalam masyarakat sehingga semua perkara berjalan tertib sesuai yang diharapkan, karena seorang pemimpin jika tidak dibantu rakyatnya dalam memenuhi setiap kewajiban mereka niscaya kepemimpinannya tidak akan sukses.

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Keenam HAK SUAMI ISTRI

Pernikahan memiliki dampak dan konsekwensi yang sangat besar. Dia merupakan ikatan antara suami istri yang menuntut setiap mereka untuk memenuhi hak-hak pasangannya, baik hak fisik, hak sosial dan hak harta. Maka wajib bagi pasangan suami istri untuk memperlakukan pasangannya dengan baik (ma’ruf) dan memenuhi haknya yang merupakan kewajibannya dengan penuh keikhlasan dan kemudahan tidak dengan perasaan berat dan ditunda-tunda. Allah ta’ala berfirman : وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ [ سورة النساء : 19 ] Dan pergaulah mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf (An Nisa : 19) وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ [ سورة البقرة : 228 ] Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya (Al Baqarah : 228) Bagi seorang istri wajib baginya untuk memenuhi segala hak suaminya yang merupakan kewajiban bagi dirinya. Jika setiap pasangan suami istri melakukan segala kewajibannya masing-masing maka kehidupan mereka akan bahagia dan keluarganya akan tetap harmonis dan jika yang terjadi sebaliknya maka akan timbul berbagai macam pertikaian dan kehidupan mereka menjadi tidak harmonis. Banyak nash-nash yang menganjurkan kita untuk berbuat baik terhadap wanita dan memperhatikan keadaannya. Mengharapkan kesempurnaan tanpa cacat dalam dirinya adalah sebuah kemustahilan, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْراً فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمَهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ [ رواه البخاري ومسلم ] Perlakukanlah wanita dengan baik, karena wanita terbuat dari tulang iga, dan bagian yang paling bengkok dari tulang iga adalah sebelah atas, jika engkau luruskan maka akan membuatnya patah dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok, maka berlaku baiklah terhadap wanita “ (Riwayat Bukhori dan Muslim) Dalam sebuah riwayat juga dikatakan bahwa wanita terbuat dari tulang iga dan dia tidak akan lurus dengan sebuah cara, jika kamu ingin bersenang-senang dengannya, kamu dapat melakukannya tapi dalam dirinya tetap saja ada yang bengkok (kekurangan) jika kamu memaksanya untuk meluruskannya niscaya dia akan patah, dan yang dimaksud patah disini artinya menthalaqnya (Riwayat Muslim). Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : لاَ يَفْرُكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا خُلُقًا آخَرَ [رواه مسلم] Janganlah seorang mu’min membenci seorang mu’minah (istrinya), jika ada sesuatu yang tidak disukainya pada dirinya bisa jadi masih banyak hal lainnya yang disukainya (Riwayat Muslim) Dalam hadits ini terdapat petunjuk dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya bagaimana mereka seharusnya memperlakukan seorang wanita. Seyogyanya setiap kekurangan diterima dengan lapang dada karena hal tersebut akan selalu, maka tidak mungkin seorang suami dapat berbahagia dengan istrinya kecuali dia bersedia menerima apa yang ada padanya. Dalam hadits diatas terdapat pelajaran bahwa seyogyanya seorang suami membandingkan kekurangan dan kelebihan yang ada pada istrinya, jika ada yang tidak dia suka pada dirinya maka bandingkanlah dengan sisi lainnya yang dia suka dan janganlah dia melihat istrinya selalu dengan pandangan benci dan keengganan semata. Banyak kalangan suami istri yang menginginkan kesempurnaan dari pasangan mereka, ini adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena itu banyak diantara mereka yang cekcok dan tidak mendapatkan keharmonisan dan kesenangan dalam rumah tangga mereka dan kemungkinan akan bermuara pada perceraian, sebagaimana sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam Jika kamu paksakan meluruskannya maka akan membuatnya patah, dan yang dimaksud patah adalah menceraikannya Maka hendaknya setiap suami memberikan kelonggaran dan kemudahan terhadap apa yang dilakukan istri sepanjang tidak merusak agamanya dan kemuliaannya. Hak-Hak Istri Atas Suaminya Termasuk hak istri atas suaminya adalah menunaikan kewajiban nafkah atasnya, berupa sandang, pangan dan papan berdasarkan firman Allah ta’ala : وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ [سورة البقرة :233] Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (Al Baqarah 233) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ [رواه الترمذي وصححه] Dan bagi kewajiban kalian atas mereka (para istri) adalah memberi nafkah untuk mereka dan pakaian dengan ma’ruf (Riwayat Turmuzi dan dia menshahihkannya). Dalam satu riwayat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang hak istri, beliau bersabda : Kamu memberinya makan apa yang kamu makan, kamu memberinya pakaian apa yang kamu kenakan, jangan memukul wajah dan jangan mencacinya dan jangan mengasingkannya kecuali didalam rumah (Hadits Hasan riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah). Termasuk hak istri adalah berlaku adil diantara mereka jika memiliki istri lebih dari satu, baik dalam sandang, pangan dan papan dan segala sesuatu yang dituntut baginya untuk berlaku adil. Jika hanya memperhatikan sebagiannya maka hal tersebut merupakan dosa besar, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ [ رواه أحمد وأهل السنن بسند صحيح ] Siapa yang memiliki dua istri kemudian hanya memperhatikan salah seorang diantara mereka, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring (Riwayat Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad shahih) Adapun dalam masalah yang anda tidak mungkin untuk berlaku adil seperti rasa cinta dan kelapangan dada, hal tersebut bukanlah merupakan dosa karena hal tersebut diluar kemampuannya.. Allah swt berfirman : وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ [ سورة النساء : 129] Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An Nisa: 129) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah berlaku adil terhadap para istrinya lalu bersabda : اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمَلكُ [رواه أهل السنن الأربعة] Ya Alloh Inilah pembagian yang dapat aku lakukan dan jangan Engkau cela aku yang ada Engkau miliki apa yang tidak aku miliki (Riwayat pengarang kitab sunan yang empat) Akan tetapi jika ada seorang suami menggunakan jatah salah seorang istrinya untuk menginap lalu digunakan untuk istrinya yang lain tidaklah mengapa jika istri yang pertama merelakannya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika dia menggunakan jatah istrinya Saudah untuk Aisyah karena Saudah memberikannya untuk Aisyah (Hadits Aisyah muttafaq alaih). Dan ketika Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam sakit pada akhir-akhir kehidupannya dia selalu bertanya-tanya : Dimana (giliran) saya besok, dimana (giliran) saya besok, maka para istrinya mengizin-kannya untuk tinggal dimana saja dia suka, dan dia memilih untuk tinggal di Rumah Aisyah sampai meninggal (Riwayat Bukhori dan Muslim) Hak Suami Atas Istrinya. Adapun hak suami atas istrinya adalah lebih besar dari haknya atas suaminya. Firman Allah ta’ala : وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ [ سورة البقرة 228 ] Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya (Al Baqarah: 228) Seorang suami merupakan Qawwam (pemimpin) atas istrinya, penanggung jawab dalam kemaslahatannya, pengajarannya, pengarahannya, sebagaimna firman Allah ta’ala : الرِّجَالُ قَوَّمُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْصٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ اَمْوَالِهِمْ [سورة النساء 34] Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (An-Nisa 34) Termasuk hak-hak suami atas istrinya adalah mentaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah serta menjaga rahasianya dan hartanya, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَِحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا [رواه الترمذي وقال حديث حسن] Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang niscaya aku akan memerintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya (Riwayat Turmuzi dan dia berkata bahwa haditsnya hasan) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “ Jika seorang suami mengajak istrinya ke pembaringannya kemudian dia menolak untuk memenuhinya sehingga pada malam tersebut suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknatnya hingga Shubuh “ (Riwayat Bukhori dan Muslim) Termasuk hak suami atas istrinya adalah tidak melakukan perbuatan yang dapat mengurangi kesempatan bagi suaminya untuk bersenag-senang terhadapnya walaupun hal tersebut berupa perbuatan sunnah dalam ibadah, berdasarkan hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنْ لأَِحَدٍ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ [رواه البخاري] Tidak diperbolehkan bagi seorang istri untuk berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada disisinya kecuali dengan izinnya dan tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang (masuk) ke rumahnya kecuali dengan izinnya (Riwayat Bukhori) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan keridhoan suami atas istrinya sebagai syarat bagi istrinya untuk masuk syurga, At-Turmuzi meriwayatkan hadits Ummu Salamah radiallahuanha bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتْ الْجَنَّةَ [ رواه ابن ماجة والترمذي وقال حديث حسن غريب ] Seorang istri yang meninggal sementara suaminya meridhoinya niscaya dia akan masuk syurga (Riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi dan dia berkata bahwa hadits ini hasan gharib)

0 Hak-Hak Yang Sesuai Dengan Fithrah dan Di Kuatkan Syari'at : Hak Kelima HAK SANAK SAUDARA

Sanak saudara yang memiliki ikatan secara langsung kepada anda seperti saudara kandung, paman dari bapak dan ibu dan anak-anak mereka dan semua yang memiliki kaitan dengan anda mereka memiliki hak karena adanya hubungan kekerabatan, Allah ta’ala berfirman : وَءَاتِ ذَا اْلقُرْبَى حَقَّهُ [سورة الإسراء : 26] Dan berilah kepada kaum kerabat hak-haknya (Surat Al Isra 26) وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى (سورة النساء : 36) Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mensekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan kepada kedua orang tua berbuat baiklah dan (juga) kepada kaum kerabat (An Nisa 36) Wajib bagi seseorang untuk menyambung silaturrahmi dengan sanak saudaranya dengan cara yang ma’ruf dengan memberikan manfaat kedudukannya, jiwanya dan hartanya sesuai dengan kuatnya hubungan kekerabatan dan tuntutan yang ada. Inilah yang dituntut oleh syariat, akal dan fitrah. Banyak dalil yang menganjurkan silaturrahmi terhadap sanak saudara dan janji yang menggembirakan atas perbuatan tersebut. Dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, setelah selesai berdiri tegaklah rahim seraya berkata : “Ini adalah tempat orang yang berlindung kepada-Mu untuk tidak memutuskan silaturrahim”, Allah berfirman : “Ya, tidakkah engkau ridho Aku menyambungkan orang yang menyambungkanmu (silaturrahmi) dan memutuskan orang yang memutuskanmu”, dia berkata “Ya”, Dia berfirman: “ Itu adalah untukmu”. Kemudian bersabdalah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam , bacalah jika kalian suka : فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتَقَطَّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَرَهُمْ [ سورة محمد : 22-23] Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (Muhammad 22-23) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia menyambung silaturrahim Banyak orang yang mengabaikan hak ini. Ada diantara mereka yang tidak mengenal sanak saudaranya. Sekian hari dan sekian bulan berlalu, mereka tidak melihatnya, tidak juga menziarahinya dan tidak menumbuhkan kecintaan dengan pemberian hadiah, tidak juga menolak bencana dengan membantu meringankan kesulitan mereka, bahkan justru ada yang berlaku buruk terhadap sanak saudaranya baik dengan perkataan maupun perbuatan atau dengan kedua-duanya, dia menyambung hubungan dengan yang jauh (bukan sanak saudara) dan memutuskan yang dekat (sanak saudaranya). Sebagian orang ada yang menyambangi sanak saudaranya jika dia disambangi dan memutuskannya jika diputuskan, hal ini pada hakikatnya bukanlah orang yang menyambung silaturrahim akan tetapi tak lebih orang yang membalas kebaikan dengan kebaikan, dan hal tersebut dapat terjadi terhadap sanak saudara ataupun bukan karena hal tersebut bukan merupakan kekhususan sanak saudara. Orang yang sebenarnya menyambung silaturrahim adalah mereka yang menyambung hubungan karena Allah ta’ala dan tidak peduli apakah mereka menerimanya atau memutuskannya, sebagaimana terdapat dalam hadits Bukhori dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئ، وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا Bukanlah dinamakan orang yang menyam-bung silaturrahim orang yang membalas kebaikan dengan kebaikan, akan tetapi orang yang apabila diputuskan hubungan silaturrahimnya dia menyambungnya Dan seseorang ada yang bertanya kepadanya : Yaa Rasulullah sesungguhnya saya punya seorang kerabat yang saya selalu menyambanginya tetapi dia memutuskan hubungan dengan saya, saya berbuat baik terhadapnya tapi dia berbuat buruk terhadapnya, saya selalu sopan terhadap mereka tapi mereka berlaku kasar kepada saya”, maka bersabdalah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Seandainya kamu seperti apa yang kamu katakan maka seakan-akan kamu sedang menyuapkan debu (ke mulutnya) dan kamu akan selalu mendapat pertolongan Allah atas mereka selama hal tersebut terus terjadi” Riwayat Muslim. Selain bahwa silaturrahim menjadikan seseorang dekat kepada Allah ta’ala sehingga Dia melimpahkan rahmat-Nya kepadanya di dunia dan akhirat, memudahkan segala urusannya dan dilepaskannya dari segala kesulitan, silaturrahim juga menjadikan keluarga dekat satu sama lain, saling mengasihi dan mencintai diantara mereka, tolong menolong diantara mereka baik saat sulit maupun saat bahagia, semua itu dapat diraih berkat silaturrahim dan dapat diketahui berdasarkan pengalaman yang ada. Dan sebaliknya akan terjadi, jika hubungan silaturrahim diputuskan atau jauh.