Monday, 22 October 2012

0 Seekor Ayam Telah Menghancurkan Tuhan-Tuhan Kami

“Sudah menjadi kebiasaanku sebelum Islam, setiap kali aku mengunjungi sebuah kota atau perkampungan, maka tempat pertama yang aku cari dan aku masuki adalah tempat ibadah seperti gereja dan lain-lain. Hingga akhirnya aku masuk ke sebuah masjid jami’. Pada saat itu kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Maghrib. Aku menunggu hingga mereka selesai melaksanakan shalat lalu aku menemui imam masjid yang sedang berkumpul dengan para jama’ah. Kemudian berlangsunglah diskusi dengannya tenteng permasalahanku yang merupakan awal aku masuk ke dalam agama Islam.” Dari sinilah Abdullah Al-Mahdi mulai bercerita tentang keislamannya, bagaimana ia masuk ke dalam Islam, apa yang mempengaruhinya hingga ia memeluk agama Islam dan tentang kehidupannya sebelum masuk Islam. Abdullah Al-Mahdi berkata, “Namaku sebelum Islam Leonardo Viliyar. Aku lahir pad 14 Desember 1935 di sebuah keluarga Kristen Katolik. Sewaktu kecil, aku dipelihara oleh kakek dan nenekku. Mereka mengajariku tentang aliran katholik yaitu keyakinan trinitas. Keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah dan dialah yang kita sembah selain Allah. Mereka berdua mengirimku ke sekolah Inggris setelah berkali-kali aku memintanya. Hanya saja aku tidak menamatkannya, Alhamdulillah. Waktu itu umurku sekitar 5 tahun dan kepala sekolah pada awalnya tidak mau menerimaku karena umurku masih terlalu kecil. Tetapi pada akhirnya dia menerimaku juga setelah ia yakin bahwa pengetahuanku di atas temen-teman seusiaku. Suatu kali mereka membiarkan aku tidur siang, sementara pintu rumah terbuka. Pada saat itu masuk induk ayam bersama anak-anaknya. Aku tersentak bangun lalu aku ambil handuk untuk mengusir ayam itu keluar. Ayam tersebut terbang ke patung yang biasa kami sembah ketika sembahyang. Patung tersebut jatuh dan pecah berkeping-keping. Dari sini aku menegtahui bahwa patung tersebut terbuat dari kayu dan ia bukan Tuhan. Aku berbicara pada patung tersebut, “Kamu ini hanya kayu bukan Tuhan sebagaimana yang di yakini oleh nenek moyangku. Kamu tidak dapat menolong diri kamu sendiri, bagaimana mungkin kamu dapat menolongorang lain?” Aku berkeinginan untuk menghancurkannya, namun karena aku masih kecil dan takut kakekku akan memukulku maka aku kembali meletakkannya ke tempat semula. Aku mulai berfikir tentang perkara ini. Aku juga yakin bahwa di sana ada tuhan yang hakiki yang menciptakan segala yang ada. Pada keesokan harinya aku melihat kakekku sedang duduk, lantas akupun duduk di sampingnya. Lalu aku bertanya, “Apakah patung ini Tuhan?” Ia menjawab, “Tidak. Tetapi kami menjadikannya sebagai kiblat pada sembahyang kami, seakan-akan kamu berada di hadapan Tuhan di saat kami mengerjakan sembahyang.” Aku terdiam, tidak dapat mengungkapkan apa yang sedang berkecamuk di dalam jiwaku. DISKUSI DENGAN KAKEKKU Kapan terjadi perubahan dalam hidupmu? Pada tahun 1943 M, tidak lama sebelum berakhirnya perang dunia kedua, aku menemukan buku yang mereka namakan Injil Barnabes (Gospel of Barnabes). Akupun membaca isinya, di dalamnya ada ucapan yang di nisbatkan kepada Nabi Isa ‘Alaihi Salam yang artinya kurang lebih adalah, “Sesungguhnya Tuhanmu tiada lain adalah Tuhanku, dan Rabbmu adalah Rabbmu.” Aku merasaheran dengan kalimat tersebut karena bertentangan sama sekali dengan akidah yang selama ini aku yakini. Seakan-akan aku kesulitan untuk memahaminya. Sementara waktu itu umurku baru menginjak 9 tahun, maka aku bertanya kepada kakekku maksud dari kalimat tersebut. Akan tetapi dia tidak mau menjawab pertanyaanku, bahkan sibuk mengamati kitab tersebut kemudian berkata, “Kamu jangan membaca kitab ini, karena akan menyesatkanmu dan menjadikan kamu bimbang terhadap agamamu. Dan sesungguhnya penulis kitab tersebut bukan dari orang Nashrani.” Aku bertanya, “Apakah ada agama alin selain agama kita?” “Ya.” Jawab kakekku. Aku tanya lagi, “Apakah agama mereka lebih baik dari agama kita?” Kakekku menjawab, “Tidak,bahkan agama kita lebih baik dari agama mereka dan agama kita adalah yang terbaik dari semua agama.” Aku bertanya, “Bagaimana kalian mengetahui hal itu?” Kakekku berkata, ”Aku telah mengetahuinya dan jangan sekali-kali kamu membaca kitab ini.” Akupun terdiam dan tidak tahu lagi apa yang harus aku ucapkan. Kemudian aku bertanya kepada nenekku, ibuku, paman-pamanku, tapi jawaban yang aku dapati sama semua, “jangan kamu bacakitab ini.” Aku bertanya pada diriku, “Apa rahasia dalam kitab ini? Kenapa mereka melarangku membacanya? Apakah mungkin seseorang mengatakan sesuatu tentang agamanya tapi ia berbohong kepada penciptanya? Apa yang terjadi kalau aku baca kitab ini?” Dan pertanyaan lain yang selalu terlintas dalam benakku. Akhirnya aku bertekad untuk membaca kitab ini secara sembunyi dalam kamar. Aku membacanya berulang-ulang dan aku memulainya dengan mencari agama yang dianut Isa ‘Alaihi Salam. Pada tahun 1947 M, aku tinggalkan bangku sekolah dan aku tidak lagi menghadiri acara-acara ritual keagamaan. Lalu aku pergi ke sebuah rumah yang di huni oleh seorang yang sudah tua. Aku memintanya untuk mengisahkan padaku tentang para nabi yang masyhur di kalangan mereka seperti Daud, Sulaiman, Ibrahim, Musa, Nuh dan Adam ‘Alaihimus Salam. Dan aku juga bertanya kepadanya tentang beberapa permasalahan agama. Ketika ayahku mengetahuiku meninggalkan bangku sekolah, ia sangat marah dan mengancam akan membunuhku. Kemarahannya memuncak saat ia mengetahuiku tidak lagi pergi ke gereja menghadiri sembahyang pada hari Minggu. 17 TAHUN TANPA LELAH Akan tetapi, apakah kamu melemah dengan ancaman ayahmu? Aku tidak berhenti untuk mencari keyakinan, aku mulai berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya selama 17 tahun tanpa merasa lelah. SAAT BERPINDAH AGAMA Bagaimana kisah di saat kamu berpindah agama? Pada tahun 1963 aku sampai di kota Marawi di pulau Mindanao sebelah selatan Filipina yang berpenduduk Muslim. Sebagaimana kebiasaanku, bahwa ketika aku sampai di suatu kota maka tempat pertama yang aku singgahi adalah tempat peribadatan. Maka aku masuk ke sebuah Masjid Jami’. Pada saat itu kaum Muslimin sedang melaksanakan shalat maghrib. Aku menanti mereka hingga usai. Lantas aku menemui imam masjid dan orang-orang berkumpul di sekitar kami. Aku bertanya kepada sang imam, “Pekerjaan apa yang baru saja kalian lakukan?” ia menjawab, “Shalat.” Aku kembali bertanya, “Apakah ini agama kalian?” Ia jawab, “Benar.” Aku katakan, “Apa nama agama kalian?” Ia jawab, “Islam.” Aku tanyakan, “Siapa Tuhan kalian?” Ia jawab, “Allah.” Aku bertanya lagi, “Siapa Nabi kalian?” Ia menjawab, “Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Aku terdiam, karena tiga kata tersebut baru kali ini aku dengar. Aku berfikir dan kembali bertanya, “Bagaimana pendapat kalian mengenai al-Masih?” ia jawab, “Ia adalah Isa bin Maryam ‘Alahis Salam dan ia adalah nabi Allah.´Aku katakan, “Apa agamanya?” Ia menjawab, “Islam, karena semua para nabi beragama Islam.” Karena waktu yang terbatas aku tidak mungkin memperpanjang pembicaraan, sementara aku masih asing di kota tersebut. Lalu aku berkata, “Apakah kalian punya buku yang mungkin aku baca?” laantas ia memberiku tiga buah buku berbahasa inggris. I. Buku Dinul Islam (agama Islam) tulisan Ahmad Ghawwasy. II. Terjemahan makna Al-Qur’an tulisan Abdullah Yusuf Ali. III. Buku kecil tentang akidah. Kemudian aku keluar dari masjid ke tempat yang aku tuju. Aku mulai membaca buku tersebut dengan teliti selama sepuluh hari dari awal sampai akhir, ternyata di dalamnya terdapat apa yang aku cari. Pada akhirnya aku berkeyakinan bahwa sekarang telah aku dapatkan agama yang di anut oleh Isa ‘Alaihis Salaam yang aku cari-cari selama dua puluh tahun. Dalam buku itu diterangkan mengenai tata cara wudhu’ dan rukun shalat. Aku kembali membaca buku tersebut sekaligus menghafalnya hungga aku mampu mempraktekkannya. Lalu pada jum’at pagi tepatnya tanggal 24 Juni 1963 M, aku mendatangi rumah sang Imam dan aku bertanya, “Bolehkah bagi seorang yang bukan Muslim untuk memeluk agama Islam?” jawabnya, “Boleh karena agama Islam bukan hanya untuk kaum Muslimin, tetapi untuk seluruh manusia. Peluklah agama Islam!” Kemudian ia mengajarkanku tentang bagaimana cara berwudhu’, mengucapkan syahadat dan tata cara shalat. Setalah aku selesai melaksanakan shalat, aku bertanya, “Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang Muslim?” Ia menjawab, “Benar.” BELAJAR EMPAT TAHUN Aku mulai mempelajari agama Islam di sebuah madrasah Islam di kota itu selama kurang lebih empat tahun. Kemudian aku pergi ke Makkah Mukarramah pada tahun 1966 belajar di madrasah Shaulatiyah. Pada akhir tahun 1967 aku berhasil mendapatkan surat izin tinggal untuk pelajar. Pada tahun 1978 aku di terima di Jami’ah Islamiyah di Madinah al-Munawwarah hingga tahun 1979 dan mendapat ijazah dari Fakultas Dakwah dan Ushuluddin. Lalu aku di kirim melalui Darul Ifta’ –sebelum menjadi departemen- ke wilayah Sabah Malaysia hingga saat ini.

Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment