Monday, 22 October 2012

0 BERAKAR PADA IDEOLOGI JIHAD

Di waktu yang hampir bersamaan dengan jihad rakyat Banten, di Tanah Jawa juga berlangsung berlangsung jihad. Pemimpinnya adalah Pangeran Diponegoro. Seorang pangeran shalih, santri militan, yang mendapat gelar Abdul Hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayidin Panotogomo Khalifatullah Tanah Jawi. Beliau didampingi ulama seperti Kiai Mojo, oleh KH. Syaifuddin Zuhri diyakini sebagai penasehat Diponegoro sekaligus inspirator jihad fie sabilillah. Bersama anaknya, Kiai Ghozali, dan santri-santrinya beliau bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro untuk berjihad melawan Belanda. Salah satu tujuan jihad Diponegoro adalah menegakkan syari’at islam, ini diketahui dari syarat perdamaian yang diajukan oleh Diponegoro kepeda Jenderal De Kock, yaitu, “Mendirikan negara merdeka yang dibawah pimpinan Sultan Khalifatullah Amirul Mukminin yang disamping sebagai kepala pemerintah juga mengatur agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan Belanda, Louw, P.J.F, dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, mengisahkan probadi Pangeran Diponegoro, “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan.” Turut serta berjihad bersama Diponegoro seorang pemuda bangsawan masih keturunan Keraton Jogja, Ali Basah Abdul Musthofa, dalam sejarah dikenal Sentot Ali Basya. Basya, menurut sebagian sejarawan, diambil dari kata ‘Pasya’ sebagai gelar perwira dari Khilafah Islam Turki ‘Utsmani. Perang sbil yang diserukan oleh Pangeran Diponegoro dimulai dari Desa Tegal Rejo. Semua ulama, santri dan rakyat bergabung bersama beliau, diantaranya, Kiai Mojo, putranya Kiai Ghazali dari Solo, Pangeran Abu Bakar yang memimpin ulama dan santri dari Kedu serta Muhammad Bahri penghulu Tegal Rejo. Diponegoro meminta mereka untuk berbai’at (janji setia). Perang berjalan alot selama lima tahun, antara tahun 1825-1830. Walau sang imam ditangkap Belanda, pada tanggal 28 maret 1830, semangat jihad di Jawa tetap berlangsung dibawah pimpinan alim ulama dan panglima-panglima Islam Diponegoro yang menolak menyerah kepada Belanda. Ulama Mujahid Bersamaan dengan jihad Diponegoro juga berlangsung jihad melawan Belanda di Sumatera Barat yang dipimpin oleh ulama karismatik, Haji Miskin. Awalnya beliau berdakwah menyebarkan tauhid, namun mendapat penentangan dari kaum adat. Sehingga beliau hijrah ke Ampat Angkat. Disana beliau mendapat sahabat dan dukungan dari para pemuka kampung. Lalu beliau mengambil bai’at dari tujuh ulama dan tokoh yang mendukung beliau untuk bahu membahu menyebarkan dakwah tauhid. Jadi jumlah mereka semuanaya menjadi delapan orang, sehingga gerakan yang telah berbai’at ini dinamakan “Harimau Nan Salapan.” Dalam buku Perang Sabil vs Perang Salib disebutkan, mula-mula mereka berpikir untuk melaksanakan syari’at islam secara utuh dan murni. Untuk itu tidak ada alternatif lain kecuali dengan kekuasaan politik. Sejak itu gerakanan mereka bukan saja gerakan dakwah, tapi juga politik. Setelah menguasai beberapa daerah, kaum Padri –sebutan lain bagi pengikut Harimau Nan Salapan- membentuk mahkamah syar’i dan mengangkat imam yang bertugas untuk memimpin shalat, puasa dan ibadah-ibadah mahdhah lainnya. Juga mengangkat Qadhi yang bertugas untuk melancarkan pelaksanakan mahkamah islam. Dari sekian santri Padri, terdapat seorang santri yang pemberani, cerdas dan sholih. Beliau adalah Muhammad Syahab yang dikemudian hari dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Beliaulah yang mengobarkan jihad melawan pasukan salib Belanda. Ideologi Jihad Realitas sejarah diatas menegaskan bahwa, jihad, syari’at islam dan al-wala’ wal bara’ adalah budaya leluhur bangsa Indonesia. Masih banyak corak perjuangan Indonesia yang dibangkitkan atas dasar jihad fiesabilillah, misalnya perang Aceh yang dikenal dengan Perang Sabil. Kurang lebih 40 tahun perang fie sabilillah dikobarkan oleh para mujahid dan mujahidah Aceh, diantaranya Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Cut Meutia dan Cut Nyak Din. Perang Aceh termasuk medan yang sangat mengerikan bagi Belanda. Perlawanan ini dipimpin oleh para ulama dan umara. Hampir tiap malam,markas,pasukan patroli dan pos penjagaan Belanda diserang oleh tentara Islam Aceh. Keberanian dan kecakapan umat Islam Aceh melawan Belanda yang kala itu termasuk memiliki perlengkapan tempur yang mutakhir, tidak lepas dari keyakinan mereka bahwa itu adalah jihad dan yang meninggal adalah syahid. Karena meyakini bahwa perang itu adalah melawan kapee’ (kafir) Belanda. Hal serupa juga terjadi ditempat lain. Sejarawan Mansur Surya Negara dalam buku “Api Sejarah”, menukil pengakuan M.C. Ricklefs –sejarawan asal Australia- bahwa sebab kesulitan Belanda memadamkan perang di Jawa, seperti Trunojoyo, adalah karena keyakinan. Muslimin Jawa meyakini bahwa Tanah Jawa tidak akan diberkahi oleh Allah Ta’ala selama orang beragama kristen tinggal disana. Semangat jihad menegakkan syari’at Islam juga dapat dilihat pada Perang Banjar di Kalimantan. Pada tahun 1859, umat Islam Banjar berjihad dipimpin oleh santri militan, Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat. Pada awalnya Pangeran Hidayat masih untuk ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda. Menurut beliau hal itu adalah sebuah pemberontakan yang menumpahkan darah rakyat sia-sia. Namun setelah dijelaskan oleh Pangeran Antasari, dalam dialog panjang, bahwa itu adalah jihad membebaskan rakyat Banjar dari penjajah kafir, akhirnya Pangeran Hidayat terbuka hatinya. “Adapun pertumpahan darah yang kau khawatirkan itu sebenarnya belum terjadi. Agama kita membenarkan peperangan ini sebagai perang sabil. Dan kematian yang menjadi resiko perjuangan ini adalah tidak sia-sia, ini mati syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah.” Tegas Pangeran Antasari mayakinkan Pangeran Hidayat. Tahun 1860, jihad di Banjar bergelora. Dipimpin langsung oleh dua Pangeran Putra Mahkota Banjar. Bersama mereka dan para ulama, seperti Haji Buyasin dan Pangeran Amrullah, umat Islam menyerang markas-markas kafir Belanda. Pada tahun 1862, secara resmi Pangeran Antasari diangkat sebagai “Amiruddin Khalifatul Mukminin.” Beliau menjadikan “hidup untuk Allah dan mati untuk Allah” sebagai landasan perjuangannya. Ayat 162 Surat Al-An’am benar dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh Pangeran Antasari, yaitu ; “Katakanlah ; sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” Sejarawan Abdul Qadir menyimpulkan bahwa perang Banjar, dari 1859 hingga 1905, jelas sekali dilandasi ideologi Islam. Dengan kata lain perang Banjar adalah perang untuk menegakkan negara Islam secara utuh. Semengat ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan pertempuran 10 November 1945 yang diabadikan sebagai hari Pahlawan pun tidak lepas dari semangat Jihad Fie Sabilillah. Teriakan “Allahu Akbar” Bung Tomo adalah yel-yel jihad. Sepertinya beliau menyadari bahwa jalan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajah kafir adalah dengan Jihad bukan dengan yang lain.

Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment