Monday, 22 October 2012

0 Kisah Pemudi Yahudi Yang Memeluk Islam

Wahai sudara-saudarku! Agama ini merupakan sebuah agama yang agung. Jika ada seseorang yang mendakwahkannya dengan lurus dan benar maka jiwa yang suci pasti akan menerimanya, walau apapun agama yang sedang ia anut atau dari bangsa manapun ia berasal. Dalam kisah ini, penulis kisah yang telah kami pilihkan untuk kalian dari jaringan internet berkata, teman wanita pemudi itu berkata, “Aku melihat wajahnya beseri-seri di dalam sebuah masjid yang terletak di pusat kota kecil di Amerika. Sedang membaca Al-Qur’an yang sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Aku ucapkan salam kepadanya dan ia membalasnya dengan iringan senyum. Kami pun membuka obrolan dan dan dalam waktu singkat kami menjadi dua orang sahabat yang sangat akrab. Pada suatu malam, kami bertemu di tepi sebuah danau nan indah. Di sanalah ia menceritakan kisah keislamannya. Mari kita simak kisah tersebut. Ia berkata, “Aku hidup dalam rumah tangga Amerika penganut agama Yahudi yang berantakan. Setalah ayah dan ibuku bercerai, ayahku menikah dengan wanita lain. Ibu tiriku ini sering menyiksaku. Pada usia 17 tahun aku lari dari rumah dan pergi dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Di sana aku bertemu dengan dengan seorang pemudi Arab mereka adalah teman tempat pelarianku yang sangat baik. Mereka semua tersenyum padaku kemudian kami menyantap hidangan makan malam. Akupun ikut melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Setelah menyantap hidangan, aku langsung kabur, karena aku tidak suka persahabatan seperti ini. Di tambah lagi aku tidak menyukai bangsa Arab. Hidupku yang sengsara tak pernah merasa tenang. Selalu di rundung kegelisahan. Aku mulai mendalami agama dengan tujuan ingin mendapatkan ketenangan rohani dan kekuatan moril dalam menjalani kehidupan. Namun semua itu tidak aku dapati dalam agama Yahudi. Ternyata agama ini hanya menghormati kaum wanita namun tidak tidak menghormati hak asasi manusia dan sangat egois. Setiap mengajukan suatu pertanyaan aku tidak mendapatkan jawaban. Lalu aku berpindah ke agama Nashrani. Ternyata dalam agama ini banyak pertentangan yang sulit di terima akal dan hanya menuntut kita agar menerimanya. Berkali-kami aku tanyakan bagaimana mungkin Tuhan membunuh anakNya? Bagaimana cara ia melahirkan? Bagaimana mungkin kita mempunyai tiga Tuhan sementara satupun tidak ada yang bisa kita lihat? Lalu aku bertekad untuk meninggalkan semua itu. Namun aku yakin bahwa alam ini pasti ada yang menciptakan. Setiap malam aku selalu berfikir dan berfikir hingga pagi menjelang. Pada suatu malam tepatnya menjelang pagi, terbesit keinginan untuk bunuh diri untuk mengakhiri kegalauan ini. Aku berada di dalam ruangan yang tidak bermakna. Hujan yang deras, gulungan awan yang tebal seakan memenjarakanku. Apa yang ada di sekitarku seolah seolah ingin membunuhku. Pepohonan memandangku dengan pandangan sinis, siraman air hujan mengalunkan irama kebencian. Kupandang dari balik jendela, di dalam sebuah rumah terpencil. Aku merasa diriku rendah di hadapan Allah Ta’ala. Ya Tuhanku! Aku tahu Kau ada di sana. Aku tahu Kau menyayangiku. Aku seorang terpenjara, hambaMu yang lemah, Tunjukilah jalan yang harus ku tempuh, Ya Tuhanku! Berilah aku petunjuk! Atau cabut saja nyawaku. Aku menangis tersedu-sedu hingga tertidur. Pada pagi hari aku bangun dengan ketenangan hati yang belum pernah aku rasakan. Seperti biasa aku keluar mencari rezeki dengan harapan semoga ada yang mau memberiku sarapan, atau mengambil upah dengan mencuci piringnya. Di sanalah aku bertemu dengan seorang pemuda Arab kemudian aku berbincang-bincang dengannya cukup lama. Setelah sarapan, ia memintaku untuk datang ke rumahnya dan tinggal bersamanya, lalu akupun ikut dengannya. Ketika kami sedang menyantap makan pagi, minum dan bercanda, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berjenggot yang bernama Sa’ad. Nama tersebut aku ketahui dari temanku yang sambil terkejut menyebut nama penuda itu. Pemuda itu menarik tangan temanku dan menyuruhnya keluar. Tinggallah aku sendirian duduk gemetar. Apakah aku sedang berhadapan dengan seorang teroris? Tetapi ia tidak melakukan sesuatu yang menakutkan, bahkan ia memintaku dengan lemah lembut agar kembali ke rumahku. Lalu aku katakan kepadanya bahwa aku tidak punya rumah. Ia memandangku dengan perasaan terharu. Kesan ini dapat aku tangkap dari mimik wajahnya. Kemudian ia berkata, “Baiklah, kalau begitu tinggallah disini malam ini, karena di luar cuaca teramat dingin dan pergilah besok. Kemudian ambillah uang ini semoga bermanfaat sebelum kamu mendapat pekerjaan.” Ketika ia hendak pergi aku menghadangnya lalu aku ucapkan terima kasih. Aku katakan, “Tetaplah disini dan aku yang akan keluar, namun aku harap engkau menceritakan apa yang mendorongmu melakukan ini terhadap aku dan temanmu. Ia lalu duduk dan mulai bercerita kepadaku sementara matanya memandang ke bawah. Katanya, “Sebenarnya yang mendorongku berbuat seperti ini karena agama Islam melarang melakukan segala yang haram, seperti berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahram dan meminum khamar. Islam juga mendorong untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan menganjurkan untuk berakhlak mulia.” Aku merasa heran, apakah mereka ini yang disebut teroris? Tadinya aku mengira mereka selalu membawa pistol dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Demikian yang aku dapatkan dari media massa Amerika. Aku katakan, “Aku ingin mengenal Islam lebih dalam, dapatkah engkau memberitahukannya kepadaku??” Ia berkata, “Aku akan bawa kamu ke sebuah keluarga Muslim yang taat dan kamu dapat tinggal di sana. Aku tahu mereka akan mengajarkan sebaik-baik pengajaran kepadamu.” Kemudian pemuda itu membawaku pergi. Pada jam 10 aku sudah berada di rumah tersebut dan mendapat sambutan hangat. Lalu aku mengajukan beberapa pertanyaan sedang Dr. Sulaiman sebagai kepala rumah tangga menjawab pertanyaan tersebut sampai aku merasa puas. Aku merasa puas karena aku mendapatkan jawaban pertanyaan yang selama ini aku cari. Yaitu agama yang terang dan jelas sesuai dengan fitrah manusia. Aku tidak mengalami kesulitan dalam memahami setiap apa yang aku dengar. Semuanya merupakan kebenaran. Ketika mengumumkan keislamanku, aku merasa adanya sebuah kebangkitan yang tiada tara. Pada hari kebangkiatanku itu atas kesadaranku sendiri aku langsung memakai cadar. Tepat jam 1 siang Sayyidah Sulaiman membawaku ke sebuah kamar yang terbaik di rumah itu. Ia berkata, “Ini kamarmu, tinggallah di sini sesukamu.” Ia melihatku tengah memandang ke luar jendela. Aku tersenyum sementara air mata berlinang membasahi pipiku. Ia bertanya mengapa aku menangis. Aku jawab, “Kemarin pada waktu yang sama aku berdiri di balik jendela merendahkan diri kepada Allah.” Aku berdo’a, “Ya Tuhanku! Tunjukilah aku jalan kebenaran, atau cabut saja nyawaku.”sungguh Allah telah menunjukiku dan memuliakanku. Sekarang aku adalah seorang muslimah bercadar dan terhormat. Inilah jalan yang aku cari, inilah jalan yang aku cari. Sayyidah memelukku dan ikut nangis bersamaku.

Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment