Dilahirkan di Mekkah 22 tahun sebelum hijrahnya Rasululllah.
Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Zaid bin Amru bin Nafil al-Qursy al-‘Adwy.
Biasa dipanggil Abul A’uur. Menikah dengan Fatimah binti al-Khottob, adik Umar
bin Khottob. Umar pun menikah dengan adik perempuan Sa’id. Wafat pada tahun 51
Hijriah di ‘Aqiq, dekat Madinah. Dikuburkan di Madinah. Mengenai keislamannya,
beliau termasuk orang-orang yang masuk Islam pada awal-awal kehadiran Islam.
Konon ceritanya bahwa Umar lebih dulu masuk Islam. Kemudian Sa’id mendengar
berita itu. Akhirnya Sa’id dan istrinya meyakini ajaran yang dibawa Rasulullah.
Keduanya pun masuk Islam atas bimbingan Umar bin Khotttob. Begitu juga Khobab
bin al-Art. Mereka memutuskan untuk belajar dan mengkaji al-Qur’an
bersama-sama. Setelah diberi mushaf dan sebelumnya sudah bersuci, beliau
membacanya. Setelah itu, beliau pergi ke tempat Rasulullah untuk memberikan
salam dan menjenguknya. Beliau adalah orang yang cerdas, banyak ide dan
pemberani. Postur tubuhnya tinggi, rambut kepalanya lebat dan kulitnya tidak
terlalu hitam. Beliau termasuk sepuluh orang yang dikabarkan akan masuk surga
sebagaimana Rasulullah sabdakan. Semasa hidupnya dalam memperjuangkan Islam,
beliau ikut dalam semua peperangan kecuali Badr. Waktu itu Rasulullah mengutus
beliau untuk suatu keperluan penting sehingga dirinya tidak ikut berperang.
Meski demikian, Rasulullah tetap memberikan balasan berupa bagi hasil dari
harta rampasan perang itu. Pada waktu terjadi ekpansi keluar jazirah Arab,
beliau ikut mengepung dan mentaklukan Damaskus. Beliau juga ikut dalam perang
Yarmuk. Pernah dipercaya Abu ‘Ubaidah untuk menjadi gubernur di Damaskus.
Inilah kali pertama pengangkatan perwalian/gubernur di Damaskus dalam sejarah
perkembangan Islam. Pada masa kekhalifan Bani Ummayah, beliau mendapat musibah
dan cobaan besar. Peristiwa yang menimpa dirinya itu menjadi perbincangan
penduduk Yastrib (sekarang Madinah). Ceritanya seorang wanita bernama Arwa
bintu Uwais telah menuduh beliau mengambil sejengkal tanah miliknya kemudian mengabungkan
dengan tanah milik beliau. Wanita itu sibuk menyebarkan fitnah itu keseluruh
penduduk. Hingga akhirnya perkara ini dilaporkan ke Marwan bin Al-Hakam,
gubernur Madinah. Marwan mengutus beberapa orang untuk berbicara dengan Said
bin Zaid mengenai laporan wanita itu. Said bin Zaid, sahabat Rasulullah,
melihat perkara sangat sulit diterima. Beliau berkata; “Mereka lihat aku
berbuat dholim terhadap wanita itu!!Bagaimana aku berbuat dholim padanya?!
Padahal Rasulullah pernah bersabda; “Barangsiapa berbuat dholim(mengambil)
sejengkal tanah orang lain, niscaya akan dibakar di akherat dari tujuh bumi.”
Beliau berdo’a; “Ya Allah, wanita itu telah menuduh aku berbuat dholim padanya.
Sekiranya dia bohong, butakan matanya dan campakkan dirinya di sumur yang dia
tuduhkan itu. Tampakkan cahaya kebenaranku sehingga mampu menjelaskan kepada
orang-orang muslim bahwa saya tidak pernah berbuat dholim padanya.” Tidak
terlalu lama setelah beliau berdo’a, hingga lembah ‘Aqiq (lembah yang ada di
Madinah mengalir darinya air) dipenuhi air yang belum pernah terjadi
sebelumnya, terbuktilah kebohongan wanita itu. Perbatasan tanah yang
disengketan wanita itu terbukti tidak benar. Orang-orang muslim tahu bahwa
Sa’id adalah pihak yang benar. Beliau tidak berbuat dholim. Kurang lebih
sebulan setelah terbukti bahwa tuduhannya itu tidak benar, wanita itu menjadi
buta. Pada waktu menjenguk tanahnya itu, dia terjatuh di sumur. Peristiwa ini
tidaklah mengherankan, sebab Rasulullah pernah berpesan: “Takutlah kalian do’a
orang yang teraniaya(terdholimi). Karena tidak ada pembatas antara doanya
dengan Allah.” Bagaimana jika orang yang teraniaya (terdholimi) itu adalah
Sa’id bin Zaid, seorang sahabat Rasul yang dikabarkan akan menjadi penghuni
surga bersama sembilan sahabat yang lain?! Tentu do’anya mustajab. Selama ikut
Rasulullah, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 48 hadits. “Wahai Allah,
jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id
diharamkan pula daripadanya.” (Do’a Zaid untuk anaknya Sa’id) ZAID BIN ‘AMR BIN
NUFAIL,(ayahada Said) berdiri dari orang banyak yang berdesak-desak menyaksikan
kaum Quraisy berpesta merayakan salah satu hari besar mereka.Kaum pria memakai
serban Sundusi yang mahal, yang kelihatan seperti kerudung Yaman yang lebih
mahal. Kaum wanita dan anak-anak berpakaian bagus warna manyala, dan mengenakan
perhiasan indah-indah. Hewan-hewan ternak pun dipakaikan bermacam-macam
perhiasan ditarik orang untuk disembelih di hadapan patung-patung yang mereka
sembah. Zaid bersandar ke dinding Ka’bah seraya berkata, “Hai kaum Quraisy!
Hewan itu diciptakan oleh Allah. Dialah yang menurunkan hujan dari langit
supaya hewan-hewan itu minum sepuas-puasnya. Dialah yang menumbuhkan
rumput-rumputan, supaya hewan-hewan itu makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian kalian
sembelih hewan-hewan itu tanpa menyebut nama-Nya. Sungguh bodoh dan sesat
kalian!” Al Khatthab, ayah ‘Umar bin Khatthab berdiri menghampiri Zaid, lalu
ditamparnya Zaid. Kata Al Khatthab, “Kurang ajar kau! Kami sudah sering
mendengar kata-katamu yang kotor itu. Namun kami biarkan saja. Kini kesabaran
kami sudah habis!” Kemudian dihasutnya orang-orang bodoh supaya menyakiti Zaid.
Zaid benar-benar disakiti mereka dengan sungguh-sungguh sehingga dia terpaksa
menyingkir dari kota Makkah ke bukit Hira’. Al Khatthab menyerahkan urusan Zaid
kepada sekelompok pemuda Quraisy untuk menghalang-halanginya masuk kota. Karena
itu Zaid terpaksa pulang dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Zaid bin ‘Amr bin
Nufail berkumpul — ketika orang-orang Quraisy lengah — bersama-sama dengan
Waraqah bin Naufal, ‘Abdullah bin Jahsy, ‘Utsman bin Harits, dan Umaimah binti
‘Abdul Muthalib bibi Nabi Muhammad Saw. Mereka berbicara mengenai kepercayaan
masyarakat ‘Arab yang sudah jauh tersesat. Kata Zaid, “Demi Allah! Sesungguhnya
saudara-saudara sudah maklum bangsa kita sudah tidak mempunyai agama. Mereka
sudah sesat dan menyeleweng dari agama Ibrahim yang lurus. Karena itu marilah
kita pelajari suatu agama yang dapat kita pegang jika saudara-saudara ingin
beruntung.” Keempat orang itu pergi menemui pendeta-pendeta Yahudi, Nasrani,
dan pemimpin-pemimpin agama lain untuk menyelidiki dan mempelajari agama
Ibrahim yang murni. Waraqah bin Naufal meyakini agama Nasrani. ‘Abdullah bin
Jahsy dan ‘Utsman bin Harits tidak menemukan apa-apa. Sedangkan Zaid bin ‘Amr
bin Nufail mengalami kisah tersendiri. Marilah kita dengar ceritanya. Kata
Zaid, “Saya pelajari agama Yahudi dan Nasrani. Tetapi keduanya saya tinggalkan
karena saya tidak memperoleh sesuatu yang dapat menenteramkan hati saya dalam
kedua agama tersebut. Lalu saya berkelana ke seluruh pelosok mencari agama
Ibrahim. Ketika saya sampai ke negeri Syam, saya diberitahu tentang seorang
Rahib yang mengerti Ilmu Kitab. Maka saya datangi Rahib tersebut, lalu saya
ceritakan kepadanya pengalaman saya belajar agama. Kata Rahib tersebut, “Saya
tahu anda sedang mencari agama Ibrahim, hai putera Makkah.” Jawabku, “Betul,
itulah yang saya inginkan!” Kata Rahib, “Anda mencari agama yang dewasa ini
sudah tak mungkin lagi ditemukan. Tetapi pulanglah Anda ke negeri Anda. Allah
akan membangkitkan seorang Nabi di tengah-tengah bangsa Anda untuk
menyempurnakan agama Ibrahim. Bila Anda bertemu dengan dia, tetaplah Anda
bersamanya.” Zaid berhenti berkelana. Dia kembali ke Makkah menunggu Nabi yang
dijanjikan. Ketika Zaid sedang dalam perjalanan pulang, Allah mengutus Muhammad
menjadi Rasul dengan agama yang hak. Tetapi Zaid belum sempat bertemu dengan
beliau, dia dihadang perompak-perompak Badui di tengah jalan, dan terbunuh
sebelum ia sampai kembali ke Makkah. Waktu dia akan menghembuskan nafas yang
terakhir, Zaid menengadah ke langit dan berkata, “Wahai Allah! Jika Engkau
mengharamkanku dari agama lurus ini, maka janganlah anakku Sa ‘id diharamkan
pula daripadanya.” SA’ID BIN ZAID Allah memperkenankan do’a Zaid. Serentak
Rasulullah mengajak orang banyak masuk Islam, Sa’id segera memenuhi panggilan
beliau, menjadi pelopor orang-orang yang beriman dengan Allah dan membenarkan
kerasulan Nabi-Nya, Muhammad saw. Tidak mengherankan kalau Sa’id secepat itu
memperkenankan seruan Muhammad. Sa’id lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga
yang mencela dan mengingkari kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy
yang sesat itu. Sa’id dididik dalam kamar seorang ayah yang sepanjang hidupnya
giat mencari agama yang hak. Bahkan dia mati ketika sedang berlari kepayahan
mengejar agama yang hak. Sa’id masuk Islam tidak seorang diri. Dia Islam
bersama-sama isterinya, Fathimah binti Al Khatthab, adik perempuan ‘Umar bin
Khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan diani’aya,
dipaksa oleh kaumnya supaya kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan orang
Quraisy berhasil mengembalikan Sa’id suami isteri kepada kepercayaan nenek
moyang mereka, sebaliknya Sa’id dan isterinya sanggup menarik seorang laki-laki
Quraisy yang paling berbobot baik pisik maupun intelektualnya masuk ke dalam
Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan ‘Umar bin Khatthab masuk Islam.
Sa’id bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail membaktikan segenap daya dan tenaganya yang
muda untuk berkhidmat kepada Islam. Ketika dia masuk Islam umurnya belum lebih
dari dua puluh tahun. Dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam setiap
peperangan, selain peperangan Badar. Ketika itu dia sedang melaksanakan suatu
tugas penting lainnya yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dia turut mengambil
bagian bersama-sama kaum muslimin mencabut singgasana Kisra Persia dan
menggulingkan ke Kaisaran Rum. Dalam setiap peperangan yang dihadapi kaum
muslimin dia selalu memperlihatkan penampilan dengan reputasi terpuji. Agakanya
yang paling mengejutkan ialah reputasinya yang tercatat dalam peperangan
Yarmuk. Marilah kita dengarkan sedikit kisahnya pada hari itu. Berkata Sa’id
bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail, “Ketika terjadi perang Yarmuk, pasukan kami
semuanya berjumlah 24.000 orang tentara. Sedangkan tentara Rum yang kami hadapi
berjumlah 120.000 tentara. Musuh bergerak ke arah kami dengan langkah-langkah
yang mantap bagaikan sebuah bukit yang digerakkan tangan-tangan tersembunyi. Di
muka sekali berbaris Pendeta-pendeta, Perwira-perwira tinggi/panglima-panglima,
dan Paderi-paderi yang membawa kayu salib sambil mengeraskan suara membaca
do’a. Do’a itu diulang-ulang oleh tentara yang berbaris di belakang mereka
dengan suaru mengguntur. Tatkala tentara kaum muslimin melihat musuh mereka seperti
itu, kebanyakan mereka terkejut, lalu timbul takut di hati mereka. Abu ‘Ubaidah
bangkit mengobarkan semangat jihad kepada mereka. Kata Abu ‘Ubaidah dalam
pidatonya antara lain, “Wahai hamba-hamba Allah! Menangkan agama Allah! Pasti
Allah akan menolong kamu, dan memberikan kekuatan kepada kamu! “Wahai
hamba-hamba Allah! Tabahkan hati kalian! Karena ketabahan adalah jalan lepas
dari kekafiran; jalan mencapai keridhaan Allah, dan menolak kehinaan. “Siapkan
lembing dan perisai! Tetaplah tenang dan diam! Kecuali dzikrullah (mengingat
Allah) dalam hati kalian masing-masing. “Tunggu perintah saya selanjutnya!
Insya Allah!” Kemudian Sa’id melanjutkan ceritanya. Tiba-tiba seorang prajurit
muslim keluar dari barisan dan berkata kepada Abu ‘Ubaidah, “Saya ingin syahid
sekarang. Adakah pesan-pesan Anda kepada Rasulullah?” Jawab Abu ‘Ubaidah, “Ya,
ada! Sampaikan salam saya dan salam kaum muslimin kepada beliau. Katakan kepada
beliau, sesungguhnya kami telah mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kami
benar-benar terbukti!” Sesudah dia mengucapkan kata-katanya itu, saya lihat dia
menghunus pedang dan terus maju menyerang musuh-musuh Allah. Saya membanting
diri ke tanah, dan berdiri di atas lutut saya. Saya bidikkan lembing saya, lalu
saya tikam seorang melompat menghadang musuh. Tanpa terasa, perasaan takut
lenyap dengan sendirinya di hati saya. Tentara muslimin bangkit menyerbu
tentara Rum. Perang berkecamuk segera berkobar dengan hebat. Akhirnya Allah
memenangkan kaum muslimin. Sa’id bin menjadi wali kota Damsyiq Sesudah itu
Sa’id bin Zaid turut berperang menaklukkan Damsyiq. Setelah kaum muslimin
memperlihatkan kepatuhan, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah mengangkat Sa’id menjadi Wali
di sana. Dialah Wali Kota pertama dari kaum muslimin setelah kota itu dikuasai.
Di masa pemerintahan Bani Umaiyah, Sa’id bin Zaid dituduh merampas tanahnya
yang saling berbatasan. Tuduhan tersebut digunjingkannya kepada kaum muslimin.
Kemudian dia mengadu kepada Marwan bin Hakam Wali Kota Madinah ketika itu.
Marwan mengirim beberapa petugas menanyakan kepada Sa’id tentang tuduhan wanita
tersebut. Sahabat Rasulullah ini merasa prihatin atas tuduhan yang dituduhkan
kepadanya. Kata Sa’id, “Dia menuduh saya menzaliminya (merampas tanahnya yang
berbatas dengan tanah saya). Bagaimana mungkin saya menzaliminya, padahal saya
telah mendengar Rasulullah bersabda: ‘Siapa yang mengambil tanah orang lain
walaupun sejengkal, nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi
kepadanya.’ Wahai Allah! Dia menuduh saya menzaliminya. Seandainya tuduhannya
itu palsu, butakanlah matanya dan ceburkan dia ke sumur yang
dipersengketakannya dengan saya. Buktikanlah kepada kaum muslimin
sejelas-jelasnya bahwa tanah itu adalah hak saya dan bahwa saya tidak pernah
menzaliminya.” Tidak berapa lama kemudian, terjadi banjir yang belum pernah
terjadi seperti itu sebelumnya. Maka terbukalah tanda batas tanah Sa’id dan
tanah Arwa yang mereka perselisihkan. Kaum muslimin memperoleh bukti, Sa’idlah
yang benar, sedangkan tuduhan wanita itu palsu. Hanya sebulan antaranya sesudah
itu, wanita tersebut menjadi buta. Ketika dia berjalan meraba-raba di tanah
yang dipersengketakannya, dia pun jatuh ke dalam sumur. Kata ‘Abdullah bin
Umar, “Memang, ketika kami masih kanak-kanak, kami mendengar orang berkata bila
mengutuk orang lain, ‘Dibutakan Allah kamu seperti Arwa.” Peristiwa itu
sesungguhnya tidak begitu mengherankan. Karena Rasulullah pernah bersabda:
“Takutilah do’a orang teraniaya. Karena antara dia dengan Allah tidak ada
batas.” Maka apa pulakah lagi kalau yang teraniaya itu salah seorang dari
sepuluh sahabat Rasulullah yang telah dijamin beliau masuk surga; Sa’id bin
Zaid.
Sumber: http://www.2lisan.com/526/said-bin-zaid/
Sumber: http://www.2lisan.com/526/said-bin-zaid/
0 Komentar:
Post a Comment