Wednesday, 17 December 2014

0 Penjelasan Iman Kepada Allah

Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun iman yang enam sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan (hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik maupun buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad (VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no. 63 serta yang lainnya.

Keimanan bersendikan pada keenam rukun ini. Jika salah satu rukun jatuh, maka seseorang tidak dapat menjadi mukmin sama sekali, karena ia telah kehilangan salah satu dari rukun iman. Jadi keimanan itu tidak akan berdiri kecuali di atas rukunnya yang sempurna, sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tegak kecuali di atas pilar-pilarnya yang sempurna pula. Enam perkara ini disebut “Rukun Iman”. Maka tidaklah sempurna iman seseorang kecuali dengan mengimani semua rukun diatas dengan cara yang benar sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al-Quran dan As-Sunnah. Barangsiapa mengingkari salah satu darinya, maka ia bukanlah seorang mukmin.

Rukun Pertama:

Iman Kepada Allah

Beriman kepada Allah Ta’ala membenarkan secara pasti tentang keberadaan (wujud) Allah, semua kesempurnaan dan keagungan yang dimiliki-Nya, hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadahi, hati diiringi dengan kemantapan akan hal itu yang tercemin dari perilakunya, konsekuen dengan perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Iman kepada Allah adalah prinsip dan dasar dari ‘Aqidah Islam. Semua rukun ‘aqidah, bersumber darinya dan mengikutinya.

Maka beriman kepada Allah mengandung arti beriman dan ke-Esaan-Nya dan Dia-lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi, karena keberadan-Nya tidak diragukan lagi. Keberadaan Allah telah terbukti baik secara fithrah, akal, syari’at maupun indera.

Termasuk beriman kepada Allah Ta’ala ialah beriman kepada ke-Esaan-Nya, Uluhiyah-Nya dan Asma’ dan Sifat-Nya. Yaitu dengan menetapkan tiga macam tauhid, myakininya dan mengamalkannya :

1) Tauhid Rububiyah

2) Tauhid Uluhiyah

3) Tauhid Asma’wa Sifat

1. Tauhid Rububiyah :

Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa hanya Allah semata Rabb dan Pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah Yang Mahapencipta, Dia-lah yang mengatur alam dan yang menjalankannya. Dia-lah yang menciptakan para hamba, yang memberi rizki kepada mereka, menghidupkan dan mematikannya. Dan beriman kepada qada’ dan qadar-Nya serta ke-Esaan-Nya dalam Dzat-Nya. Ringkasnya bahwa tauhid Rububiyah Allah Ta’ala dalam segala perbuatan-Nya:

Dalam dalil syar’i telah menegaskan tentang wajibnya beriman kepada Rububiyyah Allah Ta’ala seperti dalam firman-Nya, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Al-Fatihah:2)

Dan firman-Nya, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raaf : 54)

Firman-Nya, “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu….”(Al-Baqarah :29).

Dan Firman-Nya, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (Adz-Dzariyaat: 58).

Macam tauhid ini tidak diperselisihkan oleh orang-orang kafir Quraisy dan para penganut aliran dan agama. Maksudnya mereka semua beri’tiqad bahwa Pencipta alam semesta ini hanyalah Allah semata. Allah SWT berfirman tentang mereka, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah.”(Luqman: 25)

Dan firman-Nya, “Katakanlah, “Kepunyaannya siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.‘ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab : ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Allah.’ Katakanlah: (Kalau demikian), maka dari jalan mankah kamu ditipu ?’ Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (Al Mukmin: 84-90).

Yang demikian itu, karena hati manusia secara fitrah mengakui Rububiyyah-Nya oleh karena itu, seseorang tidak menjadi orang yang bertauhid sehingga ia mengakui dan konsisten dengan macam kedua dari ketiga macam tauihid tersebut, yaitu:

2. Tauhid Uluhiyah :

Yaitu mengesahkan Allah Ta’ala melalui perbuatan para hamba, dinamakan juga dengan tauhid ibadah. Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Ilah(sesembahan) yang haq dan tidak ada ilah selain-Nya, segala yang diibadahi selain-Nya adalah bathil, hanya Dia-lah yang patut diibadahi, baginya ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Tidak boleh siapapun dijadikan sebagai sekutu-Nya dan tidak boleh bentuk ibadah apapun diperuntukannya kepada selain-Nya, seperi shalat, puasa, zakat, haji,do’a, dan isti’anah (meminta pertolongan), nadzar, menyembelih, tawakal, khauf (takut), harap, cinta dan lain-lain dari macam-macam ibadah yang zahir (tampak) maupun bathin. Ibadah kepada Allah harus dilandasi dengan rasa cinta, cemas, dan harap secara bersamaan. Beribadah kepada-Nya dengan sebagian saja dan meninggalkan sebagian lainnya adalah kesesatan.

Allah Ta’ala berfirman, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.” (Al-Faatihah: 5).

Dan firman-Nya pula, “Dan barangsiapa beribadah kepada ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya disisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah beruntung.” (AlMukminun: 117).

Tauhid Uluhiyyah adalah inti dakwah yang diserukan oleh para Rasul. Dan pengingkaran terhadap hal itu merupakan penyebab dari berbagai malapetaka yang menimpa ummat-ummat terdahulu.

Tauhid Uluhiyyah merupakan awal dan akhir agama, bathin dan lahirnya. Juga merupakan tema pertama dakwa para Rasul dan yang terakhir. Oleh karenanya diutuslah para Rasul, diturunkannya kitab-kitab samawi, disyari’atkan jihad, dibedakan antara orang muslim dengan orang kafir, dan penghuni surga dengan penghuni neraka.

Itulah makna firman Allah, “…Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah…” (Ash-Shaafffat: 35).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadah kamu hanya kepada-Ku.” (Al-Anbiyaa’: 25)

Yang menjadi Rabb Yang Maha Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Menguasai, Yang Mengatur, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan, yang suci dari segala kekurangan, segala sesuatu (berada) di tangan-Nya maka pasti Dia adalah Rabb Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak boleh ibadah itu dipalingkan kecuali kepada-Nya semata. Allah Ta’ala berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56).

Tauhid Uluhiyyah merupakan konsekuensi dari tauhid Rububiyyah. Hal tersebut karena orang-orang musyrik tidak menyembah Rabb yang Esa, akan tetapi mereka menyembah banyak rabb bahkan mereka menganggap rabb-rabb tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa rabb-rabb tersebut tidak ada mendatangkan mudharat maupun manfaat. Oleh karena itu, Allah tidak menggolongkannya sebagai orang-orang kafir sebab mereka mempersekutukan-Nya dengan salain-Nya dalam ibadah.

Dari sini, aqidah salafush shalih -Ahlus Sunnah wal Jamaah berbeda dengan yang lainnya dalam hal tauhid uluhiyyah. Ahlus Sunnah tidak mengartikan tauhid seperti pendapat sebagian kelompok bahwa makna tauhid itu “adalah tidak ada Pencipta kecuali Allah,” akan tetapi menurut mereka tauhid uluhiyyah tidak terlealisir kecuali bila ada dua prinsip:

Pertama : Agar semua bentuk ibadah hanya ditunjukkan kepadan-Nya SWT tidak boleh kepada yang selain-Nya dan makhluk tidak diberikan hak apapun dari hak-hak Pencipta dan ciri-ciri khas-Nya.

Maka tidak boleh diibadahi kecuali Allah, tidak boleh shalat kepada selain-Nya, tidak boleh sujud kepada selain-Nya, tidak bernadzar kepada selain-Nya dan tidak bertawakkal kepada selain-Nya. Tauhid Uluhiyyah itu menuntut pengesahan Allah dalam ibadah.

Ibadah: Mencakup perkataan hati dan lisan atau juga berupa perbuatan hati dan anggota tubuh.

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matika hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’aam: 162-163).

Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)….” (Az-Zumar: 3)

Kedua: Ibadah itu harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW.

Mentauhidkan Allah SWT dalam ibadah, tunduk dan taat adalah realisasi dari syahadat: “Laa Ilaha Illahlahu (tidak ada ilah yang diibadahi kecuali Allah).”

Mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah SAW, dan mentaati apa yang diperintahkannya serta dilarangnya adalah realisasi dari syahadat: “Muhammadur Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah).

Manhaj ahlus sunnah wal jamaah: mereka beribadah hanya kepada Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, mereka tidak memohon kecuali hanya kepada Allah dan tidak meminta bantuan (beristighatsah) kecuali kepada-Nya SWT, tidak bertawakal kecuali kepada-Nya, tidak taku kecuali kepada-Nya dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan (melakukan) ketaatan ibadah kepada-Nya serta dengan melakukan amalan-amalan yang shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Beribadah kepada Allah dan jangannlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An-Nisaa’: 36).

3. Tauhid Asma’wa Sifat:

Yaitu keyakinan dengan pasti bahwa Allah SWT mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik), dan sifat-sifat yang mulia. Dia memiliki semua sifat yang sempurna dan suci dari segala kekurangan. Dia-lah Yang Maha Esa dan sifat-sifat tersebut, tidak dimiliki oleh makluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Mengetahui Rabb mereka dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka menyifati Rabb-nya seperti apa yang Allah SWT telah sifatkan untuk diri-Nya dan seperti apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya SAW, tidak melakukan tahrif (penyelewengan) ungkapan-ungkapan dari konteks pengertian yang sebenarnya, ataupun ilhad (Al-Ilhad yaitu berpaling dari kebenaran; dan termasuk kategori ilhad adalah: ta’thil (mengabaikan), tahrif (menyimpangkan), takyif (menfisualiasikan) dan tamstil (menyerupakan) sifat Allah. Ta’thil: Tidak menetapkan sifat-sifat Allah atau menetapkan sebagaiannya dan menafikan sisanya, Tahrif: Merubah nash baik sifat secara lafazh kepada makna yang lafazhnya tidak menunjukkan kepadanya kecuali dengan kemungkinan makna yang marjub (tidak kuat). Maka setiap tahrif adalah ta’thil dan tidak semua ta’thil adalah tahrif, takyif: Menjelaskan hakekat sifat, atau (bertanya dengan lafazh bagaimana), Tamstil: Menyerupakan sesuatu dengan Allah dari segala segi) dalam nama-nama-Nya dan ayat-ayat-Nya, dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan untuk dirinya-Nya tanpa tamstil, takyif, ta’thil dan tahrif. Dasar mereka dalam semua masalah ini adalah firman Allah, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (As-Syuura: 11).

Dan firman-Nya, “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raaf: 180).

Ahlus sunnah wal jamaah: Mereka tidak membatasi “kaifiyyah” (bagaimanakan) sifat-sifat Allah Ta’ala, karena Dia -Tabaraka wa Ta’ala- tidak mengabarkan tentang kaifiyyah-Nya dan karena tiada seorang pun yang lebih mengetahui daripada Allah SWT tentang diri-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?….”(Al-Baqarah: 140)

Dan firman Allah SWT, “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)

Dan tiada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasul-Nya SAW setelah Allah, yang mana Allah SWT telah berfirman tentang beliau, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(An-Najm: 34)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah SWT “Yang Awal” yaitu yang telah ada sebelum segala sesuatu ada dan “yang Akhir” yaitu yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, “Yang Zhahir” ialah tiada di atas-Nya suatu apapun, dan “Yang Bathin” ialah tidak suatu apapun yang menghalangi-Nya. Seperti firman Allah SWT, “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadiid: 3).

Sebagaimana Dzat-Nya SWT tidak menyerupai dzat-dzat yang lain; maka demikian juga sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat (makhluk-Nya). Karena Dia tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya dan tidak boleh dianalogikan dengan ciptaan-Nya. Maka ahlus sunnah wal jamaah benar-benar menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dengan penetapan tanpa tamtsil dan menyucikan tanpa ta’thil. Jadi ketika mereka menetapkan bagi Allah apa yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, maka mereka tidak men-tamtsil. Dan jika menyucikan-Nya, maka mereka tidak men-ta’thil sifat-sifat-Nya yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. (Tidak boleh sama sekali seorang berkhayal baik tentang “kaifiyyah” Dzat Allah maupun sifat-Nya).

Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Pencipta segala sesuatu dan Maha Pemberi rizki semua yang hidup. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu merahasiakan); dan dia maha halus lagi maha mengetahui.” (Al-Mulk: 14).

Dan berfirman pula, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 58).

Ahlus sunnah wal jamaah mengimani bahwa Allah Ta’ala itu beristiwa’(Ber-istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan al-‘Uluuw (Maha Tinggi) adalah dua sifat yang kita tetapkan bagi Allah Ta’ala dengan penetapan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sedang interprestasi kata “istiwa” menurut ulama Salaf adalah: Istaqarra = menetap, ‘alaa = tinggi, irtafa’a = tinggi dan sha’ada = naik. Ulama salaf menginterprestasikan kata tersebut dengan arti-arti diatas, tidak melampaui batas dan tidak menambah dari (semestinya). Dan tidak pernah ada dalam interprestasi salaf (kata istiwa) dengan arti: istaula=menguasi, atau Malaka=menguasai/memerintah, dan atau Qahara = menundukkan/mengalahkan. Kaifiyyahnya tidak diketahui, maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Mengimani hal ini adalah wajib, karena terdapat beberapa dalil yang mendasarinya. Menanyakan tentang hal tersebut adalah bid’ah, karena kaifiyyah istawa’ Allah tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Dan juga karena para Sahabat Nabi tidak ada yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kaifiyyah istiwa’ Allah di atas Arsy berada di atas langit yang ketujuh, terpisah dari makhluk-Nya namun mengetahui segala sesuatu, seperti yang Allah firmankan tentang diri-Nya dalam kitab-nya yang mulia dalam tujuh ayat tanpa menjelaskan kaifiyyah-Nya. (Yaitu secara berurutan, surat : (al-A’raaf: 54), (Yunus: 3), (ar-Ra’d: 2) (Thaahaa: 5), (al-Furqaan: 59), (as-Sajdah: 4) dan (al-Hadiid: 4).

Allah Ta’ala berfirman, “Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” ( Thaahaa: 5). (Imam al-Hafizh Ishaq bin Rahawih r.a. berkata tentang ayat ini: “Para ulama bersepakat bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan mengetahui segala sesuatu apa yang di bawah lapisan bumi yang tujuh.” Diriwayatkan oleh Imran adz-Dzahabi dalam kitab: Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffaar.

Allah Ta’ala berfirman, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataaan yang baik dan amal yang shahih dinaikkan-Nya” (Fathir: 10).

Dan firman-Nya, “Mereka takut kepada Rabb mereka yang diatas mereka.” (An-Nahl: 50).

Nabi SAW bersabda, “Tidaklah kalian percaya kepadaku, sedang aku adalah kepercayaan siapa yang di atas langit?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064 (144) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa “al-Kursi” dan “al-Arsy” itu benar (adanya).

Allah Ta’ala berfirman, “…Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Baqarah: 255).

Al-‘Arsy tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kadar besarnya kecuali Allah, sedang al-Kursi dibanding al-‘Arsy bagaimana gelang yang terletak di padang pasir, ukurannya seluas langit dan bumi. Allah tidak membutuhkan al-’Arsy dan al-Kursi, Allah beristiwa’ di atas al-‘Arsy bukan karena membutuhkannya, tetapi hal itu karena ada hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Allah Maha Suci dari sifat membutuhkan kepada al-‘Arsy, apa lagi kepada apa yang dibawahnya, kedudukan Allah SWT lebih Agung dari hal itu. Bahkan al’Arsy dan al-Kursi itu diangkat dengan kekuasaan dan keagungan-Nya.

Allah Ta’ala menciptakan Adam a.s. dengan kedua tangan-Nya, keduanya adalah kanan dan keduanya terbuka, Allah memberi nafkah sebagaimana Dia kehendaki. Seperti yang Allah sifati sendiri untuk diri-Nya dalam firman-Nya, “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu. “sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Shaad: 75).

Dan firman-Nya, “Apakah yang menghalangi kamu (Iblis) sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (Shaad: 75)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bagi Allah: pendengaran, penglihatan, ilmu, kekuasaan, kekuatan, kemuliaan, kebersamaan (ma’iyyah), firman, hidup, telapak kaki, betis, tangan dan lain-lain dari sifat-sifat yang telah Allah sifatkan sendiri untuk diri-Nya dalam kitab-Nya yang mulia dan melalui lisan Nabi-Nya SAW dengan kaifiyyah yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya sedang kita tidak mengetahuinya, karena Dia tidak mengabarkan kepada kita tentang kaifiyyah-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat.” (Thaahaa: 46).

Dan beberapa firman-Nya, “Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Tahriim: 2)

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dan langsung.” (An-Nisaa’: 164)

“Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27).

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maa-idah: 54)

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka.” (Az-Zukhruuf: 55).

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” (Al-Qalam: 42)

“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak diibadah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus mengurus makhluk-Nya.” (Ali ‘Imran: 42).

“……Allah telah murka kepada mereka…..” (Al-Mumtahannah: 13)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa orang-orang Mukminin akan melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata kepala mereka dan mereka mengunjungi-Nya, Allah akan berbicara dengan mereka dan sebaliknya mereka akan berbicara dengan-Nya. Allah berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada rabb-nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyaamah: 22-23)

Dan mereka akan melihat-Nya seperti halnya melihat bulan pada malam bulan purnama, mereka tidak berdesak-desakan saat melihat-Nya. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, seperti kalian melihat bulan di malam bulan purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan saat melihat-Nya.” (Muttafaq’alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633 (211), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah r.a. Lafazh bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).

Allah ta’ala turun ke langit dunia pada seperti malam dengan turun sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

Nabi SAW bersabda, “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman : ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka pasti Aku memperkenankan do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya.” (Mutafaq’alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 7494 (168), at-Tirmidzi no. 3498, Abu Dawud no. 1315, 4733 dan Ibnu Abi ‘Asihim dalam as-Sunnah no. 492).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah ta’ala datang pada hari Akhir untuk mengadili di antara para hamba-Nya dengan datang secara hakiki sesuai dengan keagungan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Jangan (berbuat demikian)! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabb-mu; sedang Malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajar: 21-22)

Dan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskan perkaranya.” (Al-Baqarah: 210)

Maka manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam semua hal tersebut: mengimani secara sempurna dan menerima (taslim) apa yang dikabarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam az-Zuhri, “Risalah itu datangnya dari Allah, dan tugas Rasul adalah menyampaikan (risalah tersebut) sedang kewajiban kita adalah taslim (patuh/tunduk).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarbus Sunnah (I/217). Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).

Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Sufyan bin ‘Uyainah, “Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur-an, maka bacaannya adalah tafsirnya, tidak ada kata ‘bagaimana’ dan tidak ada tandingannya.” (Dirawayatkan oleh Imam al-Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, no. 736).

Imam asy-Syafi’i juga berkata, “Aku beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya sesuai dengan apa yang dimaksud Allah. Aku beriman kepada Rasul-Nya dan apa yang datang darinya sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah.” (Lihat, Lum’atul I’tiqaad al-Haadi ilaa Sabilir Rasyaad, karya imam ibnu Qudamah al Magdisi yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab al-‘Aqil (I/83) cet. Maktabah Adhwaa-us Salaf, tahun 1419 H).

Al-Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat dan ru’yah, maka mereka menjawab, “‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa menanyakan bagaimananya.’ (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah (I/171), lihat ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ismail bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin ‘Abdullah al-Badr no. 90 dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no. 875).

Imam Malik bin Anas -Imam Darul Hijrah- berkata: “Waspadalah kalian terhadap perbuatan bid’ah!” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu?” Beliau menjawab: “Ahli bid’ah adalah mereka memperbincangkan Asma’ Allah, Sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak diam seperti diamnya pada sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/217).

Seseorang bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang maksud Firman Allah, “(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaahaa: 5)

Beliau menjawab, “”Istiwa’-nya Allah tidaklah majhul (diketahui maknanya), dan kaifiyyatnya tidak dapat dicapai akal (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perbuatan bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali engkau adalah seorang yang sesat.”

Kemudian beliau menyuruh agar orang tersebut dikeluarkan dari majlis ilmu beliau.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah). (Dikeluarkan oleh al-Lailak-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 664, Mukhtashar al-‘Uluw oleh Imam ad-Dzahabi, Tahqiq Syaikh al-Albani, hal. 141-142, cet. Al-Maktab al-Islami, th. 1412 H.)

Imam Abu Hanifah berkata: “Seseorang tidak boleh berbicara sedikit pun tentang Dzat Allah, namun hendaknya ia mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. Dan tidak mengatakan dalam hal ini dengan sependapatnya semata. Mahasuci Allah lagi Maha Tinggi, Rabb semesta alam.”

Ketika beliau ditanya tentang sifat nuzul(turunnya Allah ke langit dunia), maka beliau berkata: “Dia turun dan (jangan bertanya) ‘bagaimana’ (Dia turun)? (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah Tahqiq Syu’aib al-Arna-uth dan Dr. ‘Abdul Muhsin at-Turki, hal. 264-269).

Imam al-Hafizh Nu’aim bin Hammad al Khuza’i berkata, “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa mengingkari apa yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya maupun (disifatkan oleh) Rasul-Nya bukanlah tasybih (penyerupaan).” (Diriwayatkan Imam adz-Dzahabi, dalam kitab al-‘Uluuw lil ‘Aliyyil Ghoffar). (Hal. 184 no. 217).

Sebagian Salaf berkata, “Pijakan Islam tidak akan kokoh kecuali di atas jembatan taslim (penyerahan diri kepada Allah dan Rasul-Nya).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah hal.171. Lihat pula Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah tahqiq Syaikh al-Albani hal. 201, ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadits oleh Imam ash-Shabuni no. 91).

Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti metode Salaf dalam berbicara tentang Dzat Allah Ta’ala dan sifat-Nya, maka ia akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an tentang Asma’ Allah dan Sifat-sifat-Nya; meskipun orang tersebut hidup pada zaman Salaf maupun pada zaman yang datang kemudian.

Sebaliknya, barangsiapa berselisih dengan Salaf dan manhajnya, maka ia tidak akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an, walaupun ia berada di zaman salaf bahkan sekalipun ia hidup di antara pada sahabat dan Tabi’in.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 68 -91.



Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment