Wednesday 17 December 2014

0 Penjelasan Iman Kepada Allah

Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun iman yang enam sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan (hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik maupun buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad (VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no. 63 serta yang lainnya.

Keimanan bersendikan pada keenam rukun ini. Jika salah satu rukun jatuh, maka seseorang tidak dapat menjadi mukmin sama sekali, karena ia telah kehilangan salah satu dari rukun iman. Jadi keimanan itu tidak akan berdiri kecuali di atas rukunnya yang sempurna, sebagaimana bangunan tidak akan berdiri tegak kecuali di atas pilar-pilarnya yang sempurna pula. Enam perkara ini disebut “Rukun Iman”. Maka tidaklah sempurna iman seseorang kecuali dengan mengimani semua rukun diatas dengan cara yang benar sesuai dengan apa yang ditunjukkan Al-Quran dan As-Sunnah. Barangsiapa mengingkari salah satu darinya, maka ia bukanlah seorang mukmin.

Rukun Pertama:

Iman Kepada Allah

Beriman kepada Allah Ta’ala membenarkan secara pasti tentang keberadaan (wujud) Allah, semua kesempurnaan dan keagungan yang dimiliki-Nya, hanya Dia-lah yang berhak untuk diibadahi, hati diiringi dengan kemantapan akan hal itu yang tercemin dari perilakunya, konsekuen dengan perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Iman kepada Allah adalah prinsip dan dasar dari ‘Aqidah Islam. Semua rukun ‘aqidah, bersumber darinya dan mengikutinya.

Maka beriman kepada Allah mengandung arti beriman dan ke-Esaan-Nya dan Dia-lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi, karena keberadan-Nya tidak diragukan lagi. Keberadaan Allah telah terbukti baik secara fithrah, akal, syari’at maupun indera.

Termasuk beriman kepada Allah Ta’ala ialah beriman kepada ke-Esaan-Nya, Uluhiyah-Nya dan Asma’ dan Sifat-Nya. Yaitu dengan menetapkan tiga macam tauhid, myakininya dan mengamalkannya :

1) Tauhid Rububiyah

2) Tauhid Uluhiyah

3) Tauhid Asma’wa Sifat

1. Tauhid Rububiyah :

Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa hanya Allah semata Rabb dan Pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia-lah Yang Mahapencipta, Dia-lah yang mengatur alam dan yang menjalankannya. Dia-lah yang menciptakan para hamba, yang memberi rizki kepada mereka, menghidupkan dan mematikannya. Dan beriman kepada qada’ dan qadar-Nya serta ke-Esaan-Nya dalam Dzat-Nya. Ringkasnya bahwa tauhid Rububiyah Allah Ta’ala dalam segala perbuatan-Nya:

Dalam dalil syar’i telah menegaskan tentang wajibnya beriman kepada Rububiyyah Allah Ta’ala seperti dalam firman-Nya, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (Al-Fatihah:2)

Dan firman-Nya, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raaf : 54)

Firman-Nya, “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu….”(Al-Baqarah :29).

Dan Firman-Nya, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (Adz-Dzariyaat: 58).

Macam tauhid ini tidak diperselisihkan oleh orang-orang kafir Quraisy dan para penganut aliran dan agama. Maksudnya mereka semua beri’tiqad bahwa Pencipta alam semesta ini hanyalah Allah semata. Allah SWT berfirman tentang mereka, “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah.”(Luqman: 25)

Dan firman-Nya, “Katakanlah, “Kepunyaannya siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.‘ Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, Maka apakah kamu tidak bertakwa? Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab : ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah Allah.’ Katakanlah: (Kalau demikian), maka dari jalan mankah kamu ditipu ?’ Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (Al Mukmin: 84-90).

Yang demikian itu, karena hati manusia secara fitrah mengakui Rububiyyah-Nya oleh karena itu, seseorang tidak menjadi orang yang bertauhid sehingga ia mengakui dan konsisten dengan macam kedua dari ketiga macam tauihid tersebut, yaitu:

2. Tauhid Uluhiyah :

Yaitu mengesahkan Allah Ta’ala melalui perbuatan para hamba, dinamakan juga dengan tauhid ibadah. Maknanya adalah keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Ilah(sesembahan) yang haq dan tidak ada ilah selain-Nya, segala yang diibadahi selain-Nya adalah bathil, hanya Dia-lah yang patut diibadahi, baginya ketundukan dan ketaatan secara mutlak. Tidak boleh siapapun dijadikan sebagai sekutu-Nya dan tidak boleh bentuk ibadah apapun diperuntukannya kepada selain-Nya, seperi shalat, puasa, zakat, haji,do’a, dan isti’anah (meminta pertolongan), nadzar, menyembelih, tawakal, khauf (takut), harap, cinta dan lain-lain dari macam-macam ibadah yang zahir (tampak) maupun bathin. Ibadah kepada Allah harus dilandasi dengan rasa cinta, cemas, dan harap secara bersamaan. Beribadah kepada-Nya dengan sebagian saja dan meninggalkan sebagian lainnya adalah kesesatan.

Allah Ta’ala berfirman, “Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.” (Al-Faatihah: 5).

Dan firman-Nya pula, “Dan barangsiapa beribadah kepada ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya disisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah beruntung.” (AlMukminun: 117).

Tauhid Uluhiyyah adalah inti dakwah yang diserukan oleh para Rasul. Dan pengingkaran terhadap hal itu merupakan penyebab dari berbagai malapetaka yang menimpa ummat-ummat terdahulu.

Tauhid Uluhiyyah merupakan awal dan akhir agama, bathin dan lahirnya. Juga merupakan tema pertama dakwa para Rasul dan yang terakhir. Oleh karenanya diutuslah para Rasul, diturunkannya kitab-kitab samawi, disyari’atkan jihad, dibedakan antara orang muslim dengan orang kafir, dan penghuni surga dengan penghuni neraka.

Itulah makna firman Allah, “…Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah…” (Ash-Shaafffat: 35).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada ilah (yang hak) melainkan Aku, maka beribadah kamu hanya kepada-Ku.” (Al-Anbiyaa’: 25)

Yang menjadi Rabb Yang Maha Pencipta, Pemberi Rizki, Yang Menguasai, Yang Mengatur, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan, yang suci dari segala kekurangan, segala sesuatu (berada) di tangan-Nya maka pasti Dia adalah Rabb Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak boleh ibadah itu dipalingkan kecuali kepada-Nya semata. Allah Ta’ala berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56).

Tauhid Uluhiyyah merupakan konsekuensi dari tauhid Rububiyyah. Hal tersebut karena orang-orang musyrik tidak menyembah Rabb yang Esa, akan tetapi mereka menyembah banyak rabb bahkan mereka menganggap rabb-rabb tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Walaupun demikian, mereka mengakui bahwa rabb-rabb tersebut tidak ada mendatangkan mudharat maupun manfaat. Oleh karena itu, Allah tidak menggolongkannya sebagai orang-orang kafir sebab mereka mempersekutukan-Nya dengan salain-Nya dalam ibadah.

Dari sini, aqidah salafush shalih -Ahlus Sunnah wal Jamaah berbeda dengan yang lainnya dalam hal tauhid uluhiyyah. Ahlus Sunnah tidak mengartikan tauhid seperti pendapat sebagian kelompok bahwa makna tauhid itu “adalah tidak ada Pencipta kecuali Allah,” akan tetapi menurut mereka tauhid uluhiyyah tidak terlealisir kecuali bila ada dua prinsip:

Pertama : Agar semua bentuk ibadah hanya ditunjukkan kepadan-Nya SWT tidak boleh kepada yang selain-Nya dan makhluk tidak diberikan hak apapun dari hak-hak Pencipta dan ciri-ciri khas-Nya.

Maka tidak boleh diibadahi kecuali Allah, tidak boleh shalat kepada selain-Nya, tidak boleh sujud kepada selain-Nya, tidak bernadzar kepada selain-Nya dan tidak bertawakkal kepada selain-Nya. Tauhid Uluhiyyah itu menuntut pengesahan Allah dalam ibadah.

Ibadah: Mencakup perkataan hati dan lisan atau juga berupa perbuatan hati dan anggota tubuh.

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matika hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’aam: 162-163).

Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)….” (Az-Zumar: 3)

Kedua: Ibadah itu harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW.

Mentauhidkan Allah SWT dalam ibadah, tunduk dan taat adalah realisasi dari syahadat: “Laa Ilaha Illahlahu (tidak ada ilah yang diibadahi kecuali Allah).”

Mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah SAW, dan mentaati apa yang diperintahkannya serta dilarangnya adalah realisasi dari syahadat: “Muhammadur Rasulullah (Muhammad adalah utusan Allah).

Manhaj ahlus sunnah wal jamaah: mereka beribadah hanya kepada Allah SWT dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun, mereka tidak memohon kecuali hanya kepada Allah dan tidak meminta bantuan (beristighatsah) kecuali kepada-Nya SWT, tidak bertawakal kecuali kepada-Nya, tidak taku kecuali kepada-Nya dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan (melakukan) ketaatan ibadah kepada-Nya serta dengan melakukan amalan-amalan yang shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Beribadah kepada Allah dan jangannlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An-Nisaa’: 36).

3. Tauhid Asma’wa Sifat:

Yaitu keyakinan dengan pasti bahwa Allah SWT mempunyai asmaul husna (nama-nama yang baik), dan sifat-sifat yang mulia. Dia memiliki semua sifat yang sempurna dan suci dari segala kekurangan. Dia-lah Yang Maha Esa dan sifat-sifat tersebut, tidak dimiliki oleh makluk-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Mengetahui Rabb mereka dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Mereka menyifati Rabb-nya seperti apa yang Allah SWT telah sifatkan untuk diri-Nya dan seperti apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya SAW, tidak melakukan tahrif (penyelewengan) ungkapan-ungkapan dari konteks pengertian yang sebenarnya, ataupun ilhad (Al-Ilhad yaitu berpaling dari kebenaran; dan termasuk kategori ilhad adalah: ta’thil (mengabaikan), tahrif (menyimpangkan), takyif (menfisualiasikan) dan tamstil (menyerupakan) sifat Allah. Ta’thil: Tidak menetapkan sifat-sifat Allah atau menetapkan sebagaiannya dan menafikan sisanya, Tahrif: Merubah nash baik sifat secara lafazh kepada makna yang lafazhnya tidak menunjukkan kepadanya kecuali dengan kemungkinan makna yang marjub (tidak kuat). Maka setiap tahrif adalah ta’thil dan tidak semua ta’thil adalah tahrif, takyif: Menjelaskan hakekat sifat, atau (bertanya dengan lafazh bagaimana), Tamstil: Menyerupakan sesuatu dengan Allah dari segala segi) dalam nama-nama-Nya dan ayat-ayat-Nya, dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan untuk dirinya-Nya tanpa tamstil, takyif, ta’thil dan tahrif. Dasar mereka dalam semua masalah ini adalah firman Allah, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (As-Syuura: 11).

Dan firman-Nya, “Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raaf: 180).

Ahlus sunnah wal jamaah: Mereka tidak membatasi “kaifiyyah” (bagaimanakan) sifat-sifat Allah Ta’ala, karena Dia -Tabaraka wa Ta’ala- tidak mengabarkan tentang kaifiyyah-Nya dan karena tiada seorang pun yang lebih mengetahui daripada Allah SWT tentang diri-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: ‘Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?….”(Al-Baqarah: 140)

Dan firman Allah SWT, “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)

Dan tiada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasul-Nya SAW setelah Allah, yang mana Allah SWT telah berfirman tentang beliau, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(An-Najm: 34)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah SWT “Yang Awal” yaitu yang telah ada sebelum segala sesuatu ada dan “yang Akhir” yaitu yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, “Yang Zhahir” ialah tiada di atas-Nya suatu apapun, dan “Yang Bathin” ialah tidak suatu apapun yang menghalangi-Nya. Seperti firman Allah SWT, “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadiid: 3).

Sebagaimana Dzat-Nya SWT tidak menyerupai dzat-dzat yang lain; maka demikian juga sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat (makhluk-Nya). Karena Dia tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya dan tidak boleh dianalogikan dengan ciptaan-Nya. Maka ahlus sunnah wal jamaah benar-benar menetapkan bagi Allah apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dengan penetapan tanpa tamtsil dan menyucikan tanpa ta’thil. Jadi ketika mereka menetapkan bagi Allah apa yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, maka mereka tidak men-tamtsil. Dan jika menyucikan-Nya, maka mereka tidak men-ta’thil sifat-sifat-Nya yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. (Tidak boleh sama sekali seorang berkhayal baik tentang “kaifiyyah” Dzat Allah maupun sifat-Nya).

Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Pencipta segala sesuatu dan Maha Pemberi rizki semua yang hidup. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu merahasiakan); dan dia maha halus lagi maha mengetahui.” (Al-Mulk: 14).

Dan berfirman pula, “Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 58).

Ahlus sunnah wal jamaah mengimani bahwa Allah Ta’ala itu beristiwa’(Ber-istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan al-‘Uluuw (Maha Tinggi) adalah dua sifat yang kita tetapkan bagi Allah Ta’ala dengan penetapan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sedang interprestasi kata “istiwa” menurut ulama Salaf adalah: Istaqarra = menetap, ‘alaa = tinggi, irtafa’a = tinggi dan sha’ada = naik. Ulama salaf menginterprestasikan kata tersebut dengan arti-arti diatas, tidak melampaui batas dan tidak menambah dari (semestinya). Dan tidak pernah ada dalam interprestasi salaf (kata istiwa) dengan arti: istaula=menguasi, atau Malaka=menguasai/memerintah, dan atau Qahara = menundukkan/mengalahkan. Kaifiyyahnya tidak diketahui, maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Mengimani hal ini adalah wajib, karena terdapat beberapa dalil yang mendasarinya. Menanyakan tentang hal tersebut adalah bid’ah, karena kaifiyyah istawa’ Allah tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Dan juga karena para Sahabat Nabi tidak ada yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kaifiyyah istiwa’ Allah di atas Arsy berada di atas langit yang ketujuh, terpisah dari makhluk-Nya namun mengetahui segala sesuatu, seperti yang Allah firmankan tentang diri-Nya dalam kitab-nya yang mulia dalam tujuh ayat tanpa menjelaskan kaifiyyah-Nya. (Yaitu secara berurutan, surat : (al-A’raaf: 54), (Yunus: 3), (ar-Ra’d: 2) (Thaahaa: 5), (al-Furqaan: 59), (as-Sajdah: 4) dan (al-Hadiid: 4).

Allah Ta’ala berfirman, “Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” ( Thaahaa: 5). (Imam al-Hafizh Ishaq bin Rahawih r.a. berkata tentang ayat ini: “Para ulama bersepakat bahwa Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan mengetahui segala sesuatu apa yang di bawah lapisan bumi yang tujuh.” Diriwayatkan oleh Imran adz-Dzahabi dalam kitab: Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffaar.

Allah Ta’ala berfirman, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataaan yang baik dan amal yang shahih dinaikkan-Nya” (Fathir: 10).

Dan firman-Nya, “Mereka takut kepada Rabb mereka yang diatas mereka.” (An-Nahl: 50).

Nabi SAW bersabda, “Tidaklah kalian percaya kepadaku, sedang aku adalah kepercayaan siapa yang di atas langit?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). (HR. Al-Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064 (144) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa “al-Kursi” dan “al-Arsy” itu benar (adanya).

Allah Ta’ala berfirman, “…Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Baqarah: 255).

Al-‘Arsy tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kadar besarnya kecuali Allah, sedang al-Kursi dibanding al-‘Arsy bagaimana gelang yang terletak di padang pasir, ukurannya seluas langit dan bumi. Allah tidak membutuhkan al-’Arsy dan al-Kursi, Allah beristiwa’ di atas al-‘Arsy bukan karena membutuhkannya, tetapi hal itu karena ada hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Allah Maha Suci dari sifat membutuhkan kepada al-‘Arsy, apa lagi kepada apa yang dibawahnya, kedudukan Allah SWT lebih Agung dari hal itu. Bahkan al’Arsy dan al-Kursi itu diangkat dengan kekuasaan dan keagungan-Nya.

Allah Ta’ala menciptakan Adam a.s. dengan kedua tangan-Nya, keduanya adalah kanan dan keduanya terbuka, Allah memberi nafkah sebagaimana Dia kehendaki. Seperti yang Allah sifati sendiri untuk diri-Nya dalam firman-Nya, “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu. “sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (Shaad: 75).

Dan firman-Nya, “Apakah yang menghalangi kamu (Iblis) sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” (Shaad: 75)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan bagi Allah: pendengaran, penglihatan, ilmu, kekuasaan, kekuatan, kemuliaan, kebersamaan (ma’iyyah), firman, hidup, telapak kaki, betis, tangan dan lain-lain dari sifat-sifat yang telah Allah sifatkan sendiri untuk diri-Nya dalam kitab-Nya yang mulia dan melalui lisan Nabi-Nya SAW dengan kaifiyyah yang hanya Allah-lah yang mengetahuinya sedang kita tidak mengetahuinya, karena Dia tidak mengabarkan kepada kita tentang kaifiyyah-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat.” (Thaahaa: 46).

Dan beberapa firman-Nya, “Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Tahriim: 2)

“Dan Allah telah berbicara kepada Musa dan langsung.” (An-Nisaa’: 164)

“Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27).

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maa-idah: 54)

“Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka.” (Az-Zukhruuf: 55).

“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa.” (Al-Qalam: 42)

“Allah, tidak ada Rabb (yang berhak diibadah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus mengurus makhluk-Nya.” (Ali ‘Imran: 42).

“……Allah telah murka kepada mereka…..” (Al-Mumtahannah: 13)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah: mengimani bahwa orang-orang Mukminin akan melihat Rabb mereka di akhirat dengan mata kepala mereka dan mereka mengunjungi-Nya, Allah akan berbicara dengan mereka dan sebaliknya mereka akan berbicara dengan-Nya. Allah berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada rabb-nyalah mereka melihat.” (Al-Qiyaamah: 22-23)

Dan mereka akan melihat-Nya seperti halnya melihat bulan pada malam bulan purnama, mereka tidak berdesak-desakan saat melihat-Nya. Seperti yang disabdakan Nabi SAW, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian, seperti kalian melihat bulan di malam bulan purnama, kalian tidak akan berdesak-desakan saat melihat-Nya.” (Muttafaq’alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 633 (211), dari Sahabat Jarir bin ‘Abdillah r.a. Lafazh bermakna tidak terhalang oleh awan, bisa juga dengan lafazh yang bermakna tidak berdesak-desakan. Lihat Fat-hul Baari (II/33).

Allah ta’ala turun ke langit dunia pada seperti malam dengan turun sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.

Nabi SAW bersabda, “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir, seraya berfirman : ‘Siapa yang berdo’a kepada-Ku, maka pasti Aku memperkenankan do’anya, siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka Aku mengampuninya.” (Mutafaq’alaihi). (HR. Al-Bukhari no. 7494 (168), at-Tirmidzi no. 3498, Abu Dawud no. 1315, 4733 dan Ibnu Abi ‘Asihim dalam as-Sunnah no. 492).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwa Allah ta’ala datang pada hari Akhir untuk mengadili di antara para hamba-Nya dengan datang secara hakiki sesuai dengan keagungan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Jangan (berbuat demikian)! Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabb-mu; sedang Malaikat berbaris-baris.” (Al-Fajar: 21-22)

Dan firman-Nya, “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskan perkaranya.” (Al-Baqarah: 210)

Maka manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam semua hal tersebut: mengimani secara sempurna dan menerima (taslim) apa yang dikabarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam az-Zuhri, “Risalah itu datangnya dari Allah, dan tugas Rasul adalah menyampaikan (risalah tersebut) sedang kewajiban kita adalah taslim (patuh/tunduk).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarbus Sunnah (I/217). Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).

Seperti juga yang dikatakan oleh Imam Sufyan bin ‘Uyainah, “Semua yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam al-Qur-an, maka bacaannya adalah tafsirnya, tidak ada kata ‘bagaimana’ dan tidak ada tandingannya.” (Dirawayatkan oleh Imam al-Lalika-i, dalam kitab Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, no. 736).

Imam asy-Syafi’i juga berkata, “Aku beriman kepada Allah dan apa yang datang dari-Nya sesuai dengan apa yang dimaksud Allah. Aku beriman kepada Rasul-Nya dan apa yang datang darinya sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah.” (Lihat, Lum’atul I’tiqaad al-Haadi ilaa Sabilir Rasyaad, karya imam ibnu Qudamah al Magdisi yang disyarah oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahab al-‘Aqil (I/83) cet. Maktabah Adhwaa-us Salaf, tahun 1419 H).

Al-Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Sufyan bin ‘Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits dalam masalah sifat dan ru’yah, maka mereka menjawab, “‘Perlakukanlah sebagaimana apa adanya, tanpa menanyakan bagaimananya.’ (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah (I/171), lihat ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadiits oleh Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ismail bin ‘Abdurrahman ash-Shabuni, tahqiq Badr bin ‘Abdullah al-Badr no. 90 dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Lalika-i no. 875).

Imam Malik bin Anas -Imam Darul Hijrah- berkata: “Waspadalah kalian terhadap perbuatan bid’ah!” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu?” Beliau menjawab: “Ahli bid’ah adalah mereka memperbincangkan Asma’ Allah, Sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya. Mereka tidak diam seperti diamnya pada sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/217).

Seseorang bertanya kepada Imam Malik bin Anas tentang maksud Firman Allah, “(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaahaa: 5)

Beliau menjawab, “”Istiwa’-nya Allah tidaklah majhul (diketahui maknanya), dan kaifiyyatnya tidak dapat dicapai akal (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perbuatan bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali engkau adalah seorang yang sesat.”

Kemudian beliau menyuruh agar orang tersebut dikeluarkan dari majlis ilmu beliau.” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi, dalam kitab Syarhus Sunnah). (Dikeluarkan oleh al-Lailak-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah no. 664, Mukhtashar al-‘Uluw oleh Imam ad-Dzahabi, Tahqiq Syaikh al-Albani, hal. 141-142, cet. Al-Maktab al-Islami, th. 1412 H.)

Imam Abu Hanifah berkata: “Seseorang tidak boleh berbicara sedikit pun tentang Dzat Allah, namun hendaknya ia mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya. Dan tidak mengatakan dalam hal ini dengan sependapatnya semata. Mahasuci Allah lagi Maha Tinggi, Rabb semesta alam.”

Ketika beliau ditanya tentang sifat nuzul(turunnya Allah ke langit dunia), maka beliau berkata: “Dia turun dan (jangan bertanya) ‘bagaimana’ (Dia turun)? (Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah Tahqiq Syu’aib al-Arna-uth dan Dr. ‘Abdul Muhsin at-Turki, hal. 264-269).

Imam al-Hafizh Nu’aim bin Hammad al Khuza’i berkata, “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Dan barangsiapa mengingkari apa yang telah Allah sifatkan untuk diri-Nya, maka ia telah kafir. Apa yang Allah sifatkan untuk diri-Nya maupun (disifatkan oleh) Rasul-Nya bukanlah tasybih (penyerupaan).” (Diriwayatkan Imam adz-Dzahabi, dalam kitab al-‘Uluuw lil ‘Aliyyil Ghoffar). (Hal. 184 no. 217).

Sebagian Salaf berkata, “Pijakan Islam tidak akan kokoh kecuali di atas jembatan taslim (penyerahan diri kepada Allah dan Rasul-Nya).” (Diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah hal.171. Lihat pula Syarhul ‘Aqiidatith Thahaawiyyah tahqiq Syaikh al-Albani hal. 201, ‘Aqiidatus Salaf Ashhaabil Hadits oleh Imam ash-Shabuni no. 91).

Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti metode Salaf dalam berbicara tentang Dzat Allah Ta’ala dan sifat-Nya, maka ia akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an tentang Asma’ Allah dan Sifat-sifat-Nya; meskipun orang tersebut hidup pada zaman Salaf maupun pada zaman yang datang kemudian.

Sebaliknya, barangsiapa berselisih dengan Salaf dan manhajnya, maka ia tidak akan konsisten dengan manhaj al-Qur-an, walaupun ia berada di zaman salaf bahkan sekalipun ia hidup di antara pada sahabat dan Tabi’in.

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I), hlm. 68 -91.

0 Prinsip-Prinsip Umum Agama Islam

Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berjalan di atas manhaj salafush shalih mereka berjalan di atas prinsip-prinsip agama yang kokoh dan jelas baik dalam masalah aqidah, amal maupun akhlak. Prinsip-prinsip ini diambil dari kitabullah Ta’ala dan semua yang shahih dan sunnah Rasul-Nya baik yang mutawatir maupun yang ahaad dan dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Prinsip-prinsip agama Islam sudah di jelaskan oleh Nabi saw dengan sejelas-jelasnya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengada-adakan sesuatu yang baru dalam prinsip-prinsip agama ini lalu berprasangka bahwa apa yang diada-adakannya merupakan bagian dari agama. Oleh karena itu, ahlus sunnah wal jamaah senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama ini, menjauhi lafazh-lafazh yang bid’ah dan konsisten dengan lafazh-lafazh yang syar’i. Dari sinilah, ahlus sunnah wal jamaah merupakan manifestasi lanjutan yang sebenarnya berasal dari generasi salafuhs shalih.

Prinsip-prinsip agama Islam menurut ahlus sunnah wal jama’ah secara global sebagai berikut :

Prinsip Pertama: Iman Dan Rukunnya

Aqidah salafush shalih -ahlus sunnah wal jamaah dalam prinsip-prinsip keimanan terangkum dalam iman dan tashdiq(pembenaran) terhadap rukun iman yang enam sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, tatkala datang untuk menanyakan tentang iman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir dan (hendaknya) pula engkau beriman dengan qadar baik maupun buruk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Kitaabul Imaan). (HR. Muslim no. 8, Ahmad (VIII/27,51-52), Abu Dawud no. 4695, at-Tirmidzi no. 2610, an-Nasa-i (VIII/97) dan Ibnu Majah no. 63 serta yang lainnya.

Prinsip Kedua:

Bahwa iman menurut mereka adalah, “Membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan , diperbuat dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”

Iman (Makna iman secara bahasa yaitu membenarkan, menampakan kekhusyu’an dan iqrar (pernyataan/pengakuan). Adapun makna iman secara syar’i yaitu segala bentuk ketaatan bathin maupun zhahir. Ketaatan bathin seperti amalan hati, yaitu pembenaran hati. Sedangkan yang zhahir yaitu perbuatan badan yang mencakup berbagai kewajiban dan amalan-amalan sunnah. Intinya iman itu adalah yang menghujam kokoh di dalam hati dan dibenarkan dengan perilaku dan sikap, sedangkan buahnya iman itu nampak nyata dalam pelaksanaan perintah Allah dan menjauhi dari segala larangan-Nya. Jika ilmu tersebut tanpa disertai dengan pengamalan, maka ilmu tersebut tidak ada manfaatnya. Seandainya hanya sekedar ilmu saja tanpa perbuatan dapat memberi manfaat kepada seseorang, pasti ilmu tersebut tidak dapat memberi manfaat pula kepada iblis -semoga Allah melaknatnya.

Prinsip Ketiga: Pandangan Dan Sikap Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Termasuk prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

Bahwa mereka tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin apabila berbuat dosa yang dapat menjadikan kafir kecuali setelah iqamatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) terhadapnya, sehingga orang itu menjadi kafir apabila mengabaikannya, dengan memenuhi berbagai persyaratan, dan tidak ada halangan dan hilangnya syubhat (keraguan) dari orang yang jahil maupun orang yang menakwilkannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa yang demikian itu terjadi dalam perkara-perkara rumit lagi tersembunyi yang memerlukan penelitian dan penjelasan; lain halnya dengan perkara-perkara yang jelas dan nyata, seperti: mengingkari wujudnya Allah, mendustakan Rasulullah SAW meningkari risalahnya yang universal dan kedudukan beliau sebagai penutup para Nabi.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (untuk kafir), jika hatinya tetap tenang dan tentram dengan keimanannya.

Prinsip Keempat

Termasuk dari prinsip-prinsip aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Beriman kepada nash-nash wa’ad(janji) (Al-Wa’du, yaitu nas-nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang mengandung janji Allah kepada orang yang taat dengan ganjaran yang baik, pahala dan Surga) dan wa’iid(ancaman) (Al-Wa’id, yaitu nash-nash yang terdapat padanya ancaman bagi orang-orang yang berbuat maksiyat dengan adzab dan siksaan yang pedih). Ahlus Sunnah mengimaninya dan memberlakukannya sebagaimana datangnya, tidak menakwilkan (menyelewengkan) dan menetapkan nash-nash wa’ad dan wa’iid sebagaimana adanya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisaa’: 48 dan 116)

Prinsip Kelima : Membenarkan Karamah Para Wali

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

Membenarkan karamah para wali, yaitu sesuatu yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada sebagian orang shalih berupa kejadian luar biasa sebagai penghargaan bagi mereka. Seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. (Karamah adalah perkara yang luar biasa yang tidak diiringi dengan pengakuan kenabian dan bukan juga sebagai muqaddimahnya. Allah menampakkannya atas sebagian hamba-Nya yang shalih dari golongan orang yang berpegang teguh dengan hukum syari’at Islam sebagai bentuk kemuliaan bagi mereka dari Allah Ta’ala. Jika tidak diiringi dengan iman yang benar dan amal shalih, maka hal itu merupakan istidraj (bujukan). Hal ini pernah terjadi pada ummat-ummat terdahulu seperti disebut dalam surat Kahfi dan lainnya; dan terjadi pula pada generasi awal ummat (Muhammad) ini dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Seperti yang terjadi ‘Umar bin Khahthab ra, “Wahai saariyyah, berlindunglah di gunung!”, dan banyak yang lainnya. Dalam kitab-kitab Sunan yang shahih dan nukilan atsar-atsar, disebutkan banyak sekali kisah tentang karamah; dimana Allah Ta’ala menghormati para hamba-Nya yang shalih dan yang mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya saw. Kisah tersebut juga telah diriwayatkan oleh ribuan orang dari kalangan ulama dan lainnya yang bersumber dari orang yang terpercaya lagi menyaksikannya. Hal itu sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan masih tetap ada pada ummat ini tergantung pada kehendak Allah. Terjadinya karamah para wali pada hakikatnya merupakan bagian dari mu’jizat bagi para Nabi. Karena karamah tidak akan terjadi kepada siapapun kecuali barakah mengikutinya kepada Nabinya dan berjalan diatas petunjuk agama dan syari’atnya. Karamah termasuk perkara yang dapat diterima oleh akal. Kadang-kadang apa yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin berupa pengetahuan yang luas merupakan suatu hal yang lebih afdhal dan lebih agung dibandingkan dengan hal luar biasa yang sifatnya material yang dapat kita dengar atau kita baca.

Prinsip Keenam : Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Menerima Dan Mengambil Dalil

Termasuk dari prinsip ‘Aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

Dalam manhaj talaqqi (menerima) dan istidlal (mengambil dalil) yaitu ittiba’ (mengikuti) apa yang datang dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya saw yang shahih baik secara zhahir maupun bathin, serta taslim (berserah diri) kepada Sunnah Nabi saw. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka piluhan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhla dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzaab : 36)

Nabi bersabda, “Saya tinggalkan dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduannya, yaitu ” Khitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Shahih, hadits diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mutstadrak dan dishahihkan oleh Imam al-Albani dalam kitab al-Misykat) (Dari Malik bin Anas secara mursal, tercantum dalam al-Muwaththa’ no. 1619, mempunyai hadits penguat yang dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/93) dari Sahabat Abu Hurairah dan Ibnu Abas. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykaatul Mashaabiih jili I, bab al I’tishaam bil Kitaabi was Sunnah ni.186 (47) dan dicantumkan juga pembahasan tentang penguat hadits tersebut dalam Silsilatul Ahaadiitsish Shahiihah, Jilid IV hal. 355-361.)

Prinsip Ketujuh

Mereka berpendapat bahwa wajib taat kepada pimpinan Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika mereka menyuruh kepada kemaksiatan, maka tidak boleh taat kepada mereka dan ketaatannya hanya berlaku dalam masalah kebaikan bukan kemaksiatan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu : Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dna lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’ : 59)

Prinsip Kedelapan

Termasuk dari prinsip ‘aqidah salafush shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah :

mencintai para Sahabat Rasulullah saw, menjaga kesucian hati dan lisannya terhadap mereka. Karena mereka itulah manusia yang paling sempurna keimanan dan kebaikannya serta paling besar ketaatan dan jihadnya. Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya saw. Merekapun mendapatkan suatu keistimewaan yang tidak bisa didapatkan oleh siapapun setelah generasi mereka walaupun setinggi apapun derajatnya; yaitu kemuliaan karena melihat Nabi saw dan bergaul dengannya.

Para sahabat yang mulia itu semuanya adalah ‘uduul (jujur dan adil) berdasarkan kesaksian Allah dan RasulNya. Mereka juga sebagai ummat yang paling baik setelah Nabi-Nya saw. Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang berdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah mendediakan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal didalamnya merek a selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah :100)

Prinsip Kesembilan : Pandangan Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Ahwa

Termasuk dari prinsip aqidah Salafus Salih, Ahlus Sunnah wal Jamaah:

Bahwa mereka membenci ahlul ahwa’ dan bida’ (orang-orang yang mengikuti keinginan nafsunya dan bid’ah) mereka mengada-ada dalam urusan agama apa yang sebenarnya bukan dari urusan agama. Ahlus Sunah tidak mencintai dan tidak menemani mereka, tidak mendengarkan perkataannya, tidak mengajak duduk bersama dan tidak berdebat, tidak bertukar pikiran dengannya dalam urusan agama. Ahlus Sunah berpandangan bahwa hendaknya menjaga telinganya dari mendengarkan kebathilan-kebathilan mereka; menjelaskan kondisi dan kejahatan mereka dan memperingatkan umat terhadap mereka serta menghimbau mereka agar manusia menjauhi mereka.

Nabi saw bersabda, “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah pada suatu ummat sebelumku melainkan ada dari ummatnya sahabat-sahabat setia dan teman karib baginya yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintanya. Kemudian ummat tersebut akan meninggalkan suatu generasi yang berucap tapi tidak berbuat, dan berbuat yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tanganya, maka dia seorang mukmin. Barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya (menasehati), maka dia seorang mukmin. Maka barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya (mengingkari), maka dia seorang mukmin. dan tidak ada sebesar biji sawipun dari keimanan setelah (tingkatan) itu.” (Shahih Sunan Abi Dawud oleh Imam ak Albani). (HR. Muslim no.50 dan Ahmad (I/458) no.4379, dari Sahabat Ibnu Mas’ud)

Prinsip Kesepuluh : Manhaj Ahlus Sunnah Dalam Bersikap dan Berakhlak

Termasuk dari prinsip ‘aqidah Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal Jama’ah:

Bahwa mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf wa nahi munkar). (Ada beberapa syarat dalam merubah kemunkaran, di antaranya:1. Orang yang melarang dari perbuatan kemungkaran harus mengetahui terhadap apa yang dicegahnya. 2. Agar meneliti lebih lanjut (agar pasti) bahwa perbuatan ma’ruf telah ditinggalkan sedang kemungkaran dipraktekkan. 3. Tidak merubah kemungkaran dengan kemungkaran lain. 4. Hendaknya jangan menyebabkan berubahnya kemungkaran yang kecil kepada kemungkaran yang lebih besar).Mereka percaya bahwa kebaikan ummat ini akan senantiasa tetap ada dengan ciri khas ini (amar ma’ruf dan nahi munkar), bahkan ciri khas ini merupakan syi’ar Islam yang paling agung dan merupakan sebab terpeliharannya kesatuan dalam Islam. Amar ma’ruf adalah kewajiban sesuai dengan kondisi, dan kemaslahatan dipertimbangkan dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman, “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepad ayang ma’ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah ….”(Ali Imran:110)

Nabi saw bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya; jika ia tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan, dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan rabb mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik …” (An-Nahl : 125).

Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama’ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi’i, cet.I)

0 2 Persoalan yang Bikin Orang Tua Marah Tapi Tidak Durhaka, Apa Itu?


Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang tak boleh dielakan. Menghormati Abi dan Ummi merupakan keharusan yang wajib dipenuhi. Pasalnya, merekalah yang selama ini menjadi perantara setiap ilmu kebaikan dan rizki kepada kita, sehinggga kita bisa menjadi seperti sekarang ini.

Durhaka kepada orang tua adalah tindakan terlaknat yang membawa seseoran masuk kedalam kesuraman. Mengecewakan Abi dan Ummi merupakan prestasi buruk dalam hidup, karena membahagiakan mereka adalah kewajiban setiap putra dan putrinya.

Akan tetapi, dalam pandangan Islam, ada dua persoalan yang tidak termasuk durhaka kepada orang tua bila dilakukan, meskipun orang tua marah dan kecewa kepada sikap kita. Apakah dua persoalan itu?

Pertama: Memberikan Kesaksian Benar yang Memberatkan Orang Tua

Memberikan kesaksian benar yang memberatkan kedua orang tua, jika kedua rang tua itu memiliki tanggungan hak orang lain, bukan termasuk perilaku durhaka sama sekali, justru termasuk bentuk bakti kepada orang tua.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (QS An Nisa[4]: 135).

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda kepada para sahabatnya,

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.”

Kemudian ada seseorang bertanya tentang bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim? Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.”

Maka bukanlah sebuah sikap durhaka kepada orang tua, bila kita mendapati diantara kedua orang tua kita ternyata melakukan sebuah kedustaan sedangkan kita tahu, maka wajib bagi kita untuk meluruskan, dan bila kita diminta untuk bersaksi bahwa kedua orang tua jelas berbohong, maka wajib seoarang anak berkata dengan benar, meski harus menyalahkan tindakan kedua orang tuanya.

Karena dalam Islam, membela sebuah kebenaran itu adalah kewajiban, selain itu dengan kita berkata benar, mekipun kedua orang tua kita marah, maka hakikatnya kita sedang menolong mereka dari kebinasaan.

Hanya saja, bagaimanapun salah orang tua kita bila jelas data dan fakta, sebaiknya seorang anak tetap memakai akhlak dan kalimat yang santun dalam memberikan sebuah kesaksian. Sebagai tanda bukti bahwa kita masih menghormati mereka sebagai anak kepada orang tuanya.



Kedua: Meninggalkan Perintah Orang Tua demi Perintah Allah dan Rosul

Membela kebenaran adalah harga mati, kebanaran yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang datang dari wahyu Allah. Apabila hal ini terjadi pada kita, dimana orang tua lebih memilih pada kebatilan sedangkan kita berpihak pada kebenaran, maka wajib bagi kita untuk istiqomah dalam kebenaran.

Muslimah yang diperintah untuk mencopot jilbabnya, ikhwan yang dipaksa mencukur jenggotnya biar keliatan muda, pegawai yang dimarahi karena celananya mendadak cingkrang, atau dipaksa dipajang di depan para tamu di saat walimahan pernikahan.

Terlebih lagi bila orang tua memerintahkan untuk melakuan sebuah tindakan syirik atau mengajak pada pemahaman syirik untuk diyakini, maka hal seperti ini haram untuk diikuti. Di dalam kitab Al Quran, Allah -Ta’ala- menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [العنكبوت/8]

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Ankabut : 8 )

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [لقمان/14، 15]

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kalian kerjakan”.(QS. Luqman : 14-15)

Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata:

“Jika ketaatan kepada kedua orang tua tidak boleh dalam kondisi seperti ini, padahal keduanya memaksa sang anak, maka tidak bolehnya taat kepada keduanya (yakni, dalam maksiat), karena hanya sekedar permintaan mereka, tanpa ada paksaan adalah lebih utama. Digolongkan dalam permintaan kesyirikan oleh keduanya, seluruh kemaksiatan kepada Allah –Subhanahu-. Jadi, tak ada ketaatan kepada kedua orang tua dalam perkara kemaksiatan kepada Allah sebagaimana hal itu telah shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-“. [Lihat Fathul Qodir (5/430)]

Bagaiaman pun tingginya kedudukan orang tua kita, maka seorang anak dilarang keras dalam agama untuk menaati mereka dalam perkara maksiat. Yakni, jika mereka menyuruh kita berbuat maksiat dan dosa, baik dipaksa atau tidak, maka haram hukumnya menaati mereka menurut agama!

Hal yang seperti ini sama hukumnya dengan pimpinan negara atau panglima pasukan. Jika mereka memerintahkan kita berbuat maksiat, maka tak boleh kita taati, siapapun dia!

Dari Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ جَيْشًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ رَجُلاً فَأَوْقَدَ نَارًا وَقَالَ ادْخُلُوهَا. فَأَرَادَ نَاسٌ أَنْ يَدْخُلُوهَا وَقَالَ الآخَرُونَ إِنَّا قَدْ فَرَرْنَا مِنْهَا. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لِلَّذِينَ أَرَادُوا أَنْ يَدْخُلُوهَا « لَوْ دَخَلْتُمُوهَا لَمْ تَزَالُوا فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ». وَقَالَ لِلآخَرِينَ قَوْلاً حَسَنًا وَقَالَ « لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ ».

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan dan mengangkat bagi mereka seorang pimpinan.Kemudian pimpinan itu menyalakan api seraya berkata, “Masukilah api itu!!”

Beberapa orang ingin masuk ke api itu. Yang lain lagi berkata, “Sesungguhnya kita itu lari dari api”.

Akhirnya, perkara itu dilaporkan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada orang-orang yang mau memasuki api itu,

“Andaikan kalian memasukinya, maka kalian akan terus berada dalam api itu sampai hari kiamat”.

Beliau mengucapkan ucapan yang baik kepada kelompok yang lain, seraya bersabda, “Tak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah.Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7257) dan Muslim dalam Shohih-nya (1840)]

Dari sini maka jelaslah sudah bahwa kewajiban seorang anak kepada orang tua untuk menghormati serta taat adalah sebuah hal yang harus ditunaikan.Akan tetapi, bila hal itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah maka haram untuk menjalankanya, meskipun di saat itu orang tua kita marah dan mencaci kita. Semoga Allah berikan keberkahan dalam hidup kita. Insya Allah.

- See more at: http://www.voa-islam.com/read/muslimah/2014/12/10/34422/2-persoalan-yang-bikin-orang-tua-marah-tapi-tidak-durhaka-apa-itu/#sthash.8ATSCTL3.dpuf

Tuesday 2 December 2014

0 Seri Ekonomi Islam : Belajar dari Prinsip Rasulullah SAW dalam Berbisnis (2-Habis)

SELAIN memaparkan rahasia bisnis Rasulullah, Laode M. Kamaluddin. Ph.D juga memberi penekanan khusus pada pentingnya menjaga amanah. Sebab kesuksesan Rasulullah tak bisa lepas dari keberhasilannya menjaga kepercayaan (amanah), ini merupakan ciri utama dari aktivitas bisnis yang dilakukan oleh Rasulullah sehingga tidak ada satupun orang yang berinterakasi dengan beliau kecuali mendapatkan kepuasan yang luar biasa. Dan sangat pantas jika beliau mendapatkan gelar Al-Amiin (orang yang dapat dipercaya). Itulah modal terbesar yang tak bisa ditawar-tawar jika kita ingin sukses dalam berbisnis seperti Rasulullah.

Prof. Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader, mengungkapkan:
Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang yang jujur dan adil (fairplay) dalam membuat perjanjian bisnis dan tidak pernah membuat para pelanggannya mengeluh (komplain). Beliau selalu menepati janjinya dan dalam menyerahkan/mengirimkan barang-barang pesanannya selalu tepat waktu dan tetap mengutamakan kualitas barang yang telah dipesan dan disepakati sebelumnya. Dalam berperilaku bisnis beliau selalu menunjukkan rasa penuh tanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi di mata siapapun. Reputasi beliau sebagai seorang pedagang yang jujur dan adil telah dikenal luas sejak beliau masih muda.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang jujur dan adil serta dapat dipercaya dalam membuat perjanjian bisnis sehingga beliau sukses dalam usahanya. Bandingkan dengan keadaan saat ini yang ada di sekitar kita, ada sebagian saudara kita yang cenderung menghalalkan segala cara dalam menjual dagangannya.

Fenomena penjual daging sapi glonggongan, daging sapi dicampur daging celeng, ayam tiren (ayam mati kemaren), borak, beras dicampur pemutih pakaian, pewarna makanan menggunakan pewarna kain dan masih banyak lagi. Mereka seolah tidak peduli dengan kerugian dan dampak yang akan diterima oleh pembelinya. Semakin membuat kita prihatin mereka berdalih “cari yang haram saja susah apalagi yang halal?”

Di dunia maya-pun seolah tak mau ketinggalan, makin maraknya cyber crime, aksi tipu-tipu, scam, hoax, virus, pencurian data sampai pembobolan rekening dan lain-lain, membuat kita semakin prihatin. Dari ke semua itu timbul pertanyaan di benak kita, masih adakah kejujuran dan keadilan serta amanah atau kepercayaan (trust) di sekitar kita?

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk-Nya kepada kita semua. Semoga apa yang diajarkan baginda Rasul SAW ini bisa kita terapkan dalam bisnis kita dan dapat menginspirasi buat kita semua, amiin. [rika/islampos/jendelaal-islam]

Source : http://www.islampos.com/belajar-dari-prinsip-rasulullah-saw-dalam-berbisnis-2-habis-143422/

0 Seri Ekonomi Islam : Belajar dari Prinsip Rasulullah SAW dalam Berbisnis (1)


BERBISNIS tak semudah yang Anda bayangkan sebelumnya. Dalam memulainya pun memerlukan pondasi yang kuat agar bisnis yang Anda akan tekuni berjalan dengan lancar. Hingga, ketika kerugian datang melanda Anda tidak akan merasa kebingungan dalam menghadapinya. Prinsip, itulah hal yang harus Anda miliki dalam berbisnis. Terutama ketika pertama kali Anda akan melakukan usaha.

Apakah modal utama memulai usaha? Jika Anda menjawab uang, mungkin benar, tapi tidak dalam bisnis ala Rasulullah SAW. “Yang menjadi number one capital dalam bisnis ala Rasulullah adalah kepercayaan (trust) dan kompetensi,” kata pakar ekonomi syariah, Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec.

Menurut beliau, dalam trust itu ada integritas dan kemampuan melaksanakan usaha. “Rasulullah membangun usaha dari kecil, dari sekadar menjadi pekerja, kemudian dipercaya menjadi supervisor, manager, dan kemudian menjadi investor.

Perjalanan dari kuadran ke kuadran itu, menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang entrepreneur yang memiliki strategi dalam mengembangkan usahanya dan karakteristik untuk mencapai sukses.

Sebagai pengusaha dan pemimpin, Rasulullah mempunyai sumber income yang sangat banyak. Namun beliau sangat ringan tangan memberi bantuan. “Beliau sangat tidak sabar melihat ada umat yang menderita dan tidak ridha melihat kemiskinan di sekitarnya atau kelaparan di depan matanya.

Itu sebabnya, Rasulullah selalu berinfak dengan kecepatan yang luar biasa, yang digambarkan para sahabatnya sebagai “seperti hembusan angin”. “Beliau menyedekahkan begitu banyak hartanya dan mengambil sedikit saja untuk diri dan keluarganya.”

Sementara itu menurut Laode M. Kamaluddin. Ph.D. dalam bukunya “14 Langkah Bagaimana Rasulullah SAW Membangun Kerajaan Bisnis”, kejujuran dan keterbukaan Rasulullah dalam melakukan transaksi perdagangan merupakan teladan bagi seorang pengusaha generasi selanjutnya. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangan dengan standar kualitas sesuai dengan permintaan pelanggan sehingga tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh atau bahkan kecewa. Reputasi sebagai pelanggan yang benar-benar jujur telah tertanam dengan baik. Sejak muda, beliau selalu memperlihatkan rasa tanggung jawabnya terhadap setiap transaksi yang dilakukan.

Di dalam buku “14 Langkah Bagaimana Rasulullah SAW membangun Kerajaan Bisnis” juga dipaparkan rahasia bisnis Rasulullah, antara lain menjadikan bekerja sebagai ladang menjemput surga, berpikir visioner, kreatif dan siap menghadapi perubahan, pintar mempromosikan diri, menggaji karyawan sebelum kering keringatnya, mengutamakan sinergisme, berbisnis dengan cinta, serta pandai bersyukur dan berucap terima kasih.

BERSAMBUNG

Source : http://www.islampos.com/belajar-dari-prinsip-rasulullah-saw-dalam-berbisnis-1-143421/

0 Seri Ekonomi Islam : Perekonomian di Masa Rasulullah SAW (571-632M)


RASULULLAH diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun. Beliau merupakan pemimpin agama dan pemimpin negara tetapi beliau tidak mendapatkan gaji sedikitpun dari negara kecuali hadiah kecil yang berupa makanan. Rasulullah membentuk majlis syura yang sebagian bertugas mencatat wahyu, kemudian pada 6 H sekretaris telah terbentuk. Demikian juga delegasi ke negara-negara lain.

Masalah kerumahtanggaan diurus oleh Bilal. Orang-orang ini mengerjakan tugas dengan sukarela tanpa gaji. Tentara formal tidak ada di masa ini, tentara tidak mendapat gaji tetap, Mereka mendapat ghanimah sebelum turunnya Surat al-anfal 41 yang menjelaskan orang-orang yang berhak mendapat bagian ghanimah. Pada 2H, zakat fitrah diwajibkan sebesar 1 sha’ bahan makanan pokok. Zakat diwajibkan pada 9H. Peraturan zakat memuat tentang sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas- batas zakat, dan tingkat presentase zakat.

Pengumpul zakat tidak mendapat gaji resmi tapi mereka mendapat bagian dari dana zakat. Wakaf yang pertama berasal dari seorang banu nadir yang telah masuk Islam berupa tujuh kebun. Jizyah pada masa ini besarnya 1 dinar per tahun bagi orang dewasa yang mampu membayar. Ghanimah memberi kontribusi kurang dari 2 persen terhadap pendapatan kaum muslimin selama 10 tahun kepemimpinan rasulullah.

1. Sumber Pendapatan Primer
Sumber pendapatan primer pada masa ini adalah zakat dan ’ushr (zakat hasil pertanian) sebagaimana diwajibkan dalam surat At Taubah 60. Pengeluaran zakat dikhususkan sesuai mustahiq zakat yang dijelaskan dalam Al-Qur’an. Zakat dikenakan pada : benda logam yang terbuat dari emas dan perak, binatang ternak, berbagai janis barang dagangan, hasil pertanian, harta benda yang ditinggalkan musuh (luqta), dan rikaz (barang temuan).

Sedangkan pendapatan sekunder diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Uang tebusan untuk para tawanan perang
b. Pinjaman-pinjaman setelah menklukkan kota mekkah sebelum perang hawazin sebesar 30 000 dirham dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman pakaian dan tunggangan dari Sufyan bin umaiyah
c. Khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam
d. Amwal fadilah, harta kaum muslimin yang meningal tanpa ahli waris atau muslim yang meninggalkan negerinya
e. Wakaf
f. Nawaib, pajak yang cukup besar yang dibebankan pada kaum muslim yang kaya
g. Zakat fitrah
h. Bentuk lain sadaqah seperti kurban dan kafarat

Daftar Pos Pendapatan
No. Dari kaum muslim Dari kaum non muslim Umum (primer dan sekunder)
1 Zakat Jizyah Ghanimah
2 Ushr 5-10% Kharaj Fay
3 Ushr 2,5% Ushr 5% Uang tebusan
4 Zakat fitrah Pinjaman
5 Wakaf Hadiah dari negara lain
6 Amwal fadilah
7 Nawaib
8 Sadaqah lain
9 khums

Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa rasulullah tidak ada karena:
1. Jumlah orang Islam yang bisa baca, tulis, & hitung sangat sedikit
2. Bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana
3. Zakat didistribusikan secara lokal
4. Bukti penerimaan dari daerah yang berbeda tidak umum digunakan
5. Ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah terjadi peperangan tertentu.
6. Pencatatan diserahkan kepada petugas pengumpul tetapi tetap dicek
7. langsung oleh Rasulullah sendiri.
8. Tabel Pengeluaran Negara

Madinah
2. Hiburan untuk delegasi keagamaan
3. Pengeluaran untuk duta-duta negara dan hiburan dan biaya perjalanan untuk utusan suku dan negara
4. Hadiah untuk pemerintah negara lain
5. Pembayaran untuk pembebasan kaum muslimin yang menjadi budak
6. Pembayaran denda untuk yang terbunuh tidak sengaja oleh pasukan

Muslim
7. Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin
8. Pembayaran tunjangan untuk orang miskin
9. Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah
10. Pengeluaran untuk rumah tangga rasulullah (hanya 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya)
11. Persediaan darurat

Sebelum Islam hadir, pemerintah suatu negara dipandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dalam bidang keuangan negara pada abad ke 7 yakni semua pendapatan negara dikumpulkan terlebih dahulu baru kemudian dibelanjakan sesuai kebutuhan negara, jadi status harta itu adalah milik negara.

Meskipun demikian dalam batas-batas tertentu pejabat negara boleh menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan harta itu disebut dengan baitul maal. Pada masa itu baitul maal terletak di masjid nabawi yang merupakan pusat pemerintahan sekaligus rumah tinggal rasulullah. [santi/islampos/Dikutif dari: Konsep Ekonomi Islam/karya: Sudarsono,Heri/ PT Raja Grafindo Persada]

Source : http://www.islampos.com/perekonomian-di-masa-rasulullah-saw-571-632m-119753/

0 Seri Ekonomi Islam : Mengenai Ekonomi, Inilah Pandangan Al-Ghazali (2-Habis)

KONSEP uang

Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.

Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.

Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.

Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.

Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.

Source : http://www.islampos.com/mengenai-ekonomi-inilah-pandangan-al-ghazali-2-habis-149219/

0 Seri Ekonomi Islam : Mengenai Ekonomi, Inilah Pandangan Imam Al-Ghazali (1)




Oleh : Faizi (Mahasiswa Keuangan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

DALAM wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya.

Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab berbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.

Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.

Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Though memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini wacana pemikiran ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.

Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.

Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.

Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.

Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji dalam perspektif sistem ekonomi Islam.

BERSAMBUNG

Source : http://www.islampos.com/mengenai-ekonomi-inilah-pandangan-al-ghazali-1-149218/

0 Benarkah Mozart Membuat Cerdas?

BARU-baru ini kita dikagetkan oleh sebuah fakta baru penelitian bahwa ternyata musik klasik tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kemampuan kognitif seorang anak. Itu artinya, mendengarkan musik klasik tidak mencerdaskan anak sebagaimana yang selama ini diberitakan. Selama lebih dari 15 tahun, kita terkecoh oleh publisitas yang banyak membesar-besarkan tentang musik klasik yang dapat memacu kecerdasan seorang anak.

Beberapa orang peneliti dari University of Vienna, Austria yakni Jakob Pietschnig, Martin Voracek dan Anton K. Formann dalam riset mereka yang diberi judul “Mozart Effect” mengemukakan kesalahan besar dari hasil penelitian musik yang melegenda ini.

Pietschnig dan kawan-kawannya mengumpulkan semua pendapat dan temuan para ahli terkait dampak musik Mozart terhadap tingkat intelegensi seseorang kemudian mereka membuat riset terhadap 3000 partisipator. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan! Berdasarkan penelitian terhadap ribuan partisipator itu, Pietschnig dan rekan-rekannya menyimpulkan bahwa tidak ada stimulus atau sesuatu yang mendorong peningkatan kemampuan spasial seseorang setelah mendengarkan musik Mozart.

Senada dengan Jacob Pietschnig dan kawan-kawannya, sebuah tim peneliti Jerman yang terdiri atas ilmuwan, psikolog, filsuf, pendidik, dan ahli musik mengumpulkan berbagai literatur dan fakta mengenai efek mozart ini. Mereka mengemukakan bahwa sangat tidak mungkin mozart dapat membuat seorang anak menjadi jenius.

Penelitian terbaru ini membantah habis-habisan hasil riset psikolog Frances Rauscher dan rekan-rekannya di University of California pada tahun 1993 yang mengemukakan bahwa musik Mozart ternyata dapat meningkatkan kemampuan mengerjakan soal-soal mengenai spasial.

Al-Quran Mencerdaskan

Berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah mukjizat yang telah Allah jamin kemurniannya hingga hari kiamat kelak. Ada banyak kemuliaan dan kebaikan yang ada dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah Al-Qur’an dapat merangsang perkembangan otak anak dan meningkatkan intelegensinya.

Setiap suara atau sumber bunyi memiliki frekuensi dan panjang gelombang tertentu. Nah, ternyata, bacaan Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil yang bagus dan sesuai dengan tajwid memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang mampu mempengaruhi otak secara positif dan mengembalikan keseimbangan dalam tubuh.

Bacaan Al-Qur’an memiliki efek yang sangat baik untuk tubuh, seperti; memberikan efek menenangkan, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kemampuan konsentrasi, menyembuhkan berbagai penyakit, menciptakan suasana damai dan meredakan ketegangan saraf otak, meredakan kegelisahan, mengatasi rasa takut, memperkuat kepribadian, meningkatkan kemampuan berbahasa, dsb.

Pada asalnya, milyaran sel saraf dalam otak manusia bergetar secara konstan. Sel ini berisi program yang rumit dimana milyar sel-sel di sekitar berinteraksi dalam sebuah koordinasi yang luar biasa yang menunjukkan kebesaran Allah.

Sebelum bayi lahir, sel-sel otaknya mulai bergetar berirama secara seimbang. Tapi setelah kelahirannya, tindakan masing-masing akan mempengaruhi sel-sel otak dan cara mereka bergetar. Jadi jika beberapa sel otak tidak siap untuk mentoleransi frekuensi tinggi, ini dapat menyebabkan gangguan dalam sistem getar otak yang pada gilirannya menyebabkan banyak penyakit fisik dan psikologis.

Seorang peneliti bernama Enrick William Duve menemukan bahwa otak bereaksi terhadap gelombang suara tertentu. Dan gelombang tersebut dapat berpengaruh secara positif dan negatif. Ketika beredar informasi bahwa musik klasik berpengaruh terhadap perkembangan otak manusia, banyak kalangan menggunakan musik klasik sebagai obat terapi.

Tapi, Al-Qur’an tetaplah obat yang terbaik. Terapi dengan Al-Qur’an terbukti mampu meningkatkan kecerdasan seorang anak, menyembuhkan berbagai penyakit, dsb. Ini dikarenakan frekuensi gelombang bacaan Al-Qur’an memiliki kemampuan untuk memprogram ulang sel-sel otak, meningkatkan kemampuan, serta menyeimbangkannya.

Satu lagi, Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, yakni bahasa yang memiliki nilai sastra yang tinggi, dan bahasa nomor satu yang paling sulit untuk dipelajari. Kita tahu, bahwa tidak ada satupun dari kita yang mampu menandingi keindahan bahasa Al-Qur’an. Namun, tahukah Anda, bahwa ternyata jika kita mampu berbahasa Arab dapat memudahkan kita untuk menguasai bahasa asing lainnya?

Anak-anak yang terbiasa membaca Al-Qur’an disertai dengan memahami maknanya, ternyata memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada anak-anak lain. Bahkan meski bahasa tersebut masih asing, ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kemudian menguasainya, insya Allah.

Janin usia 7 bulan sudah dapat merespon suara-suara di sekitar ibunya. Nah, untuk itulah, penting bagi ibu hamil untuk banyak-banyak memperdengarkan Al-Qur’an kepada janinnya. Kita tidak mengharapkan mereka mengerti dan memahami apa yang kita baca. Namun, membiasakannya mendengarkan Al-Qur’an sejak dalam kandungan, membantunya untuk tumbuh dengan intelegensi tinggi, kemampuan berbahasa yang baik, dan kepribadian yang baik pula.

Source : http://www.islampos.com/benarkah-mozart-membuat-cerdas-7493/

Monday 1 December 2014

0 Soekarno (2013) DVDRip 600MB Ganool


Info: http://www.imdb.com/title/tt3069954/
Release Date: 11 December 2013 (Indonesia)
Genre: Drama | Biography
Cast: Ario Bayu, Maudy Koesnaedi, Lukman Sardi, Tika Bravani, Ferry Salim, Tanta Ginting
Quality: DVDRip
Language: Indonesian
Encoder: @Ganool
Source: DVD9 Retail

Berikut Sinopsis Film Soekarno: Indonesia Merdeka :

Sukarno kecil dahulu bernama Kusno, namun karena tubuhnya kurus dan sakit-sakitan, nama tersebut diganti Sukarno oleh ayahnya. Dengan nama baru itu, ayahnya berharap dia akan menjadi ksatria layaknya Adipati Karno. Waktu berlalu, Sukarno menjadi pemuda yang aktif dan mengguncang podium politik.

Karena terlalu 'vokal' dan berani, dia akhirnya dijebloskan dalam penjara. Dia dituduh menghasut dan memberontak seperti Komunis. Tapi keberanian Sukarno tidak pernah padam. Dia makin menggugat. Pledoinya yang sangat terkenal, Indonesia Menggugat membuat dia dibuang ke Ende, lalu Bengkulu.

Di kota itu Sukarno rehat sejenak dari politik. Dia jatuh hati pada gadis cantik bernama Fatmawati. Padahal saat itu Sukarno masih menjadi suami Inggit Garnasih, perempuan yang selalu menjadi perisai baginya tatkala di penjara dan dibuang. Inggit harus rela melihat sang suami tercinta jatuh hati pada gadis lain.

Di tengah kemelut rumah tangganya, Jepang datang memulai peperangan Asia Timur Raya. Birahi politiknya kembali menguat. Belanda takluk oleh Jepang. Sesuatu yang dulu dianggap raksasa bagi Sukarno, kini lenyap. Kemerdekaan Indonesia seolah di ambang mata.

Sementara itu Hatta dan Sjahrir, saingan politik Sukarno di masa muda mengingatkan bahwa Jepang tidak kalah bengisnya dengan Belanda. Tapi Sukarno punya sudut pandang berbeda. "Jika kita cerdik, kita bisa memanfaatkan Jepang untuk upaya meraih kemerdekaan Indonesia" kata Sukarno. Hatta terpengaruh. Tapi Sjahrir tidak.

Kita semua tahu bahwa pada akhirnya kemerdekaan Indonesia terwujud pada tanggal 17 agustus 1945. Tapi apakah itu kemerdekaan yang diharapkan? Jangan-jangan kemerdekaan itu semata-mata hadiah dari Jepang? Jangan-jangan apa yang kita peringati setiap tahun itu hanyalah upah bagi Sukarno karena telah bekerja untuk Jepang? Bagaimanakah cara Sukarno mewujudkan kemerdekaan itu? Berapa nyawa yang dikorbankan?

Di atas kereta kuda, haji Cokroaminoto berpesan kepada Sukarno muda: "Manusia itu sama misteriusnya dengan alam, tapi jika kau bisa menggenggam hatinya, mereka akan mengikutimu". Kalimat itu selalu dipegang Sukarno untuk mewujudkan mimpinya .... Indonesia Merdeka!

Film Soekarno Indonesia Merdeka :

Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Raam Punjabi
Pemain : Ario Bayu, Lukman Sardi, Ferry Salim, Maudy Kusnaedi, Agus Kuncoro, Sujiwo Tejo, Tika Bravani, Ferry Salim
Gene : Drama, Biografi
Durasi : 137 menit
Tanggal Rilis : 11 Desember 2013


Link Download :