Monday 22 October 2012

0 Jejak Perjuangan Islam Di Laweyan, Solo

Bumi Laweyan memiliki sederet kisah yang menarik untuk diketahui. Daerah ini terletak di sebelah selatan Kota Surakarta dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukoharjo. Mayoritas penduduknya adalah pengusaha batik. Laweyan sejak dahulu memang terkenal sebagai pusat produksi dan perdagangan batik. Kawasan Laweyan dilewati jalan Dr. Radjiman yang menghubungkan Keraton Kasunanan Surakarta dengan Kartosuro. Di sana banyak terlihat bangunan bergaya tempo dulu. Tembok-tembok tinggi menutupi rumah-rumah besar dengan arsitektur, material, dan ornamen yang mewah milik para raja batik zaman dulu. Pada zamannya, kawasan ini adalah ruang pamer kekayaan dan kemewahan duniawi. Hampir-hampir tak terbayang bahwa dari kawasan ini bisa muncul pergerakan Islam yang menjadi cikal bakal perjuangan dan jihad Muslim Indonesia mengusir penjajah Belanda, Sarekat Islam. Haji Samanhudi Di bumi Laweyan inilah lahir seorang tokoh perjuangan Islam bernama Haji Samanhudi. Beliau lahir tahun 1868 dengan nama kecil Sudarno Nadi. Setelah naik haji pada tahun 1904, ia dikenal dengan nama Haji Samanhudi. Ayahnya juga seorang pengusaha Muslim yang menjadi saudagar batik, H. Muhammad Zen. Sudarno kecil menempuh pendidikan di madrasah dan sekolah rakyat selama enam tahun. Pada umur 13 tahun ia meneruskan sekolah ke HIS di Madiun, tetapi tidak sampai tamat karena harus membantu kegiatan dagang ayahnya. Namun ia juga belajar Al-Qur’an di Pondok Pesantren Josermo, Surabaya. Usaha batik orang tuanya kemudian dilanjutkan oleh Sudarno nadi. Tak hanya menekuni bisnis, ia memanfaatkan usahanya untuk mengangkat harkat dan martabat peadagang Muslim. Ia menerapkan prinsip-prinsip Islam, tidak mau terlibat riba, jujur dalam berdagang, mambantu pemasaran batik dari pedagang kecil dan membantu pengusaha batik yang masih kecil. Usah batik yang dilakukan Sudarno pun berkembang pesat, ia mengembangkan cabang-cabang usaha di berbagai kota, kurang lebih ada 86 cabang. Industri batik yang di kembangkan juga menyerap banyak tenaga kerja, sekitar 200 pekerja yang datang dari sekitar Solo. Sudarno pun berkibar sebagai saudagar batik Muslim yang sukses. Namun ia tak melupakan fitrah dasar seorang Muslim, melawan kezholiman dan ketidakadilan. Sarekat Dagang Islam Sepulang dari menunaikan ibadah haji, Sudarno Nadi semakin tergerak oleh semangat persaudaraan Islam yang melaumpaui batas-batas bangsa dan negeri. Bersama beberapa saudagar Muslim lainnya di Kota Solo, didirikanlah Sarekat Dagang Islam pada tanggal 16 Oktober 1905. Upaya mempelopori dan mendirikan perkumpulan ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang luhur –berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk menyatukan para pedagang Islam dan menentang kezhaliman penjajah Belanda. Saat itu, persaingan yang sangat ketat terjadi antara pedagang pribumi dengan pedagang Cina. Para pedagang Cina yang memiliki modal besar serta kerjasama yang begitu rapi mendapatkan dukungan dari penguasa Belanda. Untuk kepentingan devide et imperanya, Belanda memposisikan para pedagang Cina sebagai mitra spesial dengan berbagai hak khusus. Sedangkan pedagang pribumi, dengan modal yang kecil dan diskriminasi perlakuan penguasa Belanda menjadi lemah dalam persaingan dengan pedagang Cina. Tekanan persaingan bisnis dan diskriminasi Belanda itu menyadarkan para pedagang pribumi Muslim akan pentingnya pembinaan , kerjasama dan persatuan ummat. Menyadari hal tersebut, dengan pendekatan-pendekatan agama seperti pengajian, ramah tamah dan musyawarah, maka H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam sebagai solusinya. Tujuan pendirian SDI adalah mengembangkan jiwa dagang bagi anggotanya, dengan prinsip-prinsip dagang Islam. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat kaum muslimin. Memperbaiki pendapat yang keliru dalam pemahaman agama Islam. Serta hidup sesuai dengan syari’at Islam. Masyarakat juga antusias terhadap solusi yang di pelopori H. Samanhudi. Mereka pun mendirikan perkumpulan ini di kota-kota lainnya. Tahun 1909, Raden Mas Tirtoadisuryo, ikut pula mendirikannya di kota Bandung dan Jakarta, dan pada tahun 1911, untuk daerah Bogor didirikan oleh H. Syeikh Ahmad Badjened. Karena perkembangan SDI yang begitu cepat, pedagang-pedagang Cina khawatir tersaingi, maka pada tahun 1911, di Solo, para pedagang Cina mendirikan perhimpunan yang bernanama “Kong Zing” yang mempunyai dua kelompok anggota, yaitu Cina dan Jawa. Namun dalam perkembangannya, golongan Jawa tidak bertahan lama, mereka keluar dari Kong Zing dan bergabung dengan SDI. Serikat Islam (SI) Selanjutnya, pada 11 November 1912, nama Sarekat Dagang Islam (SDI) di ganti menjadi nama Sarekat Islam (SI), yang di ketuai oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang lain, seperti politik. SI tidak hanya membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja, tetapi untuk semua lapisan masyarakat Muslim. Dalam perkembangannya SI menjadi pelopor gerakan politik Muslim yang berkembang menjadi gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Namun sejarah tetap mengabadikan fakta, SI lahir dari buaian SDI yang dirintis oleh Haji Samanhudi dari Laweyan. Usaha yang gigih dan mengobarkan semangat jihad terus dilakukan oleh Haji Samanhudi. Industri batik yang dikembangkan oleh Haji Samanhudi lambat laun menyurut. Namun kekayaannya selalu digunakan untuk membiayai kegiatan memperjuangkan umat Islam. Di masa tuanya, Haji Samanhudi jatuh pailit dan wafat di Klaten, Jum’at 28 Desember 1965, dan dimakamkan di daerah Surakarta.

Related Post:

0 Komentar:

Post a Comment